Isi dari pidato-pidato Bung Karno yang terangkum dalam buku Di Bawah
Bendera Revolusi seakan menampar generasi saat ini. Ya kita memang harus
membuat perubahan itu. Perubahan pada pola pikir dari diri sendiri
terutama dan kawan-kawan disekitar. Bahwasanya kita adalah bangsa yang
besar dan kaya raya namun kita menjadi korban atas ketidakmampuan kita
sendiri dalam mengolahnya.
Tanah yang subur tetapi kita kekurangan bahan makanan bahkan harus mengimpor dari negara lain yang notabene memiliki lahan pertanian lebih sempit. Tanya kenapa? Sebab pemuda-pemuda (kita) lebih menyukai budaya impor, lebih merasa keren dengan segala sesuatu yang dibeli bermerk ‘impor’. Seperti kemarin yang dikatakan mbakSekar Dee bahwa hampir tidak ada orang-orang Indonesia sendiri yang bercita-cita menjadi petani, menghasilkan lumbung padi untuk negerinya sendiri.
Berikut saya kutibkan sebagian dari amanat presiden Soekarno, dituliskan bahwa:
Tuhan telah menjediakan kekajaan-kekajaan itu! Tetapi penggaliannja tergantunglah kepada kita sendiri. Nasib kita, kaja-miskin kita, sengsara-bahagia kita, tidak tergantung dari usaha orang lain, tidak dari dewa-dewa melainkan dari ichtiar kita sendiri. “Self-activity, self-help”, itulah kuntji kemakmuran dan kebahagiaan suatu bangsa, itulah nasionalisme-sedjati bagi suatu bangsa, apakah ia bangsa kulit putih, apakah ia bangsa Asia, apakah ia bangsa Eskimo, apakah ia bangsa hot-t*****. “Selfreliance, not mendicancy,” - “usaha sendiri, djangan mengemis,” itulah sembojan jang tepat bagi bangsa jang telah merdeka. Berdjuta-djuta modal asing bekerdja sama atau berusaha di Indonesia. Beratus-ratus tenaga ahli luar negeri mungkin mau mentjurahkan tenaganja disini bersama kita. Tetapi tidak mungkin tidak mungkin unsur-unsur luar negeri itu membuat tanah air kita ini makmur dan sejahtera, gemah ripah kerta rahardja, djikalau bangsa Indonesia sendiri hanja mendjadi penonton dan penikmat sadja dari hasil-hasil jang digali oleh modal dan orang lain itu. Kemerdekaan barulah kemerdekaan sedjati, djikalau dengan kemerdekaan itu kita dapat menemukan kepribadian kita sendiri. Unsur-unsur dari luar harus kita anggap hanja sebagai pemegang funksi pembantu belaka, pendorong, stimulans, bagi kegiatan kita sendiri. Achirnja jang menentukan ialah manusia Indonesia sendiri, keringat Indonesia sendiri.
Dalam pembangunan ekonomi nasional, faktor lain jang amat penting ialah pembangunan alat-alat perhubungan dan pengangkutan. Negara kita adalah negara kepulauan, jang memerlukan amat kepada perhubungan dan pengangkutan. Marilah memperhatikan pengadjaran sedjarah. Tiga setengah abad lamanja kita membajar denda jang mahal atas kelalaian kita memelihara kesatuan bangsa. Tiga setengah abad lamanja kita mendjalani hukuman. Sekarang kita telah merdeka kembali karena dapat menggembleng kwmbali kesatuan bangsa itu, peliharalah terus baik-baik kesatuan bangsa itu, dan sempurnakanlah baik-baik kesatuan bangsa itu, politis dan ekonomis, dengan semua alat-alat penggembleng kesatuan jang diperlukan. Perikehidupan sesuatu bangsa, sebagai djuga perikehidupan manusia selalu mengenal dua alam. Alam batin dan alam zahir; alam spirituil dan alam materiil. Soal memelihara dan menjempurnakan kesatuan bangsa pun, politis dan ekonomi, mengenal dua alam ini. Kita harus memberi alat-alat perekat batin dan alat-alat perekat zahir kepada bangsa Indonesia supaja kesatuanja makin sempurna. Alat perekat batin amat perlu. Kesatuan suatu bangsa hanjalah dapat hidup benar-benar, djika didasarkan atas dasar jang lebih luas daripada bangsa itu sendiri. Dasar jang lebih luas itu ialah dasarnja batin, dasarnja djiwa. Alat perekat batin jang utama bagi bangsa Indonesia ialah Pantja Sila. Ingat, kita ini bukan dari satu suku bangsa. Ingat, kita ini bukan dari satu adat-istiadat. Ingat, kita ini bukan dari satu agama! Bhineka tunggal Ika, Bhinna Ika Tunggal Ika, “berbeda-beda tetapi satu” demikianlah tertulis dilambang Negara kita, dan tekanan katakau sekarang ini kuletakan kepada kata “binna”, jaitu “berbeda-beda”. Ingat, kita ini “binna”, kita ini “berbeda-beda”, dan untuk mempersatukan bangsa 80.000.000 djiwa jang berbeda itu, diperlukanlah satu semen batin jang dapat menjemen mereka semua. Dan semen batin itu ialah Pantja Sila. Satu-satunja semen batin jang dapat menjemen seluruh bangsa Indonesia jang beraneka warna itu, dari Sabang sampai ke Merauke, dari Miangas sampai ke Numodale, adalah Pantja Sila.
(Sumber: Amanat Presiden Soekarno pada Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1954 di Djakarta, Di Bawah Bendera Revolusi halaman 206 jilid ke II cetakan tahun 1965)
Jika kita mau belajar dan membaca kembali catatan lama para pendiri negeri ini maka hampir semuanya mengingatkan untuk menjaga persatuan dan kesatuan sebagai satu bangsa. Menjadi bangsa yang mandiri agar kita lebih dihargai. Satu-satunya dasar yang bisa diterima oleh seluruh lapisan rakyat Indonesia ialah Pancasila, tetapi jika dari kita sendiri ada yang berpikiran untuk mengganti dasar negara ini maka mana lagi yang akan mengikat kita menjadi satu bangsa. Bertambah lagi ada pihak-pihak yang menghendaki bendera Merah Putih-pun diganti, dan lebih disayangkan lagi ketika para pemuda yang menjadi tonggak perubahan dan tonggak pembangunan mudah masuk dalam hasutan, apakah ini mental pemuda kita saat ini? Apakah kita akan ikut terbawa menjadi bagian yang bermental tempe? Itu adalah pilihan, tetapi hendaknyalah dalam memilih itu kita tetap menjaga persatuan.
Manakala bangsa sendiri mudah diadu domba, diperalat oleh kepentingan suatu golongan yang tujuannya ialah memporak-porandakan Indonesia dari dalam yang tujuannya tidak lain ialah untuk menguasai Indonesia tanpa terlihat jelas bentuk penjajahannya. Apakah kita masih dijajah bangsa asing? Masih. Penjajahan itu kini berupa budaya, berupa teknologi, berupa iming-iming hidup enak dan praktis. Kita dijadikan sebagai pasar buangan dari yang tidak layak di negeri mereka. Namun anehnya, masyarakat kita menyambutnya dengan antusias. Mental kita dicetak sebagai mental konsumtif. Sehingga sebagaimana kita ketahui, pihak-pihak asing dengan mudah menguasai pasar modal dalam negeri, pertambangan, bahkan sampai bidang agraris pun petani lokal kalah tersaingi. Inilah yang harusnya kita benahi bersama untuk membangun negeri ini. Bukan hanya menjadi generasi muda yang manja, yang ngalem, yang mewekan, yang tergantung dan tidak paham berbuat bagaimana.
Pemuda-pemuda yang arif itu ialah yang turut berpikir untuk perubahan negerinya, sadar akan permasalahan di lingkungannya dan cepat tanggap dengan mencari jalan penyelesaiannya, dan jangan menjadi pemuda-pemuda yang hanya mengejar sesuatu untuk kesenangan syahwatnya.
Tanah yang subur tetapi kita kekurangan bahan makanan bahkan harus mengimpor dari negara lain yang notabene memiliki lahan pertanian lebih sempit. Tanya kenapa? Sebab pemuda-pemuda (kita) lebih menyukai budaya impor, lebih merasa keren dengan segala sesuatu yang dibeli bermerk ‘impor’. Seperti kemarin yang dikatakan mbakSekar Dee bahwa hampir tidak ada orang-orang Indonesia sendiri yang bercita-cita menjadi petani, menghasilkan lumbung padi untuk negerinya sendiri.
Berikut saya kutibkan sebagian dari amanat presiden Soekarno, dituliskan bahwa:
Tuhan telah menjediakan kekajaan-kekajaan itu! Tetapi penggaliannja tergantunglah kepada kita sendiri. Nasib kita, kaja-miskin kita, sengsara-bahagia kita, tidak tergantung dari usaha orang lain, tidak dari dewa-dewa melainkan dari ichtiar kita sendiri. “Self-activity, self-help”, itulah kuntji kemakmuran dan kebahagiaan suatu bangsa, itulah nasionalisme-sedjati bagi suatu bangsa, apakah ia bangsa kulit putih, apakah ia bangsa Asia, apakah ia bangsa Eskimo, apakah ia bangsa hot-t*****. “Selfreliance, not mendicancy,” - “usaha sendiri, djangan mengemis,” itulah sembojan jang tepat bagi bangsa jang telah merdeka. Berdjuta-djuta modal asing bekerdja sama atau berusaha di Indonesia. Beratus-ratus tenaga ahli luar negeri mungkin mau mentjurahkan tenaganja disini bersama kita. Tetapi tidak mungkin tidak mungkin unsur-unsur luar negeri itu membuat tanah air kita ini makmur dan sejahtera, gemah ripah kerta rahardja, djikalau bangsa Indonesia sendiri hanja mendjadi penonton dan penikmat sadja dari hasil-hasil jang digali oleh modal dan orang lain itu. Kemerdekaan barulah kemerdekaan sedjati, djikalau dengan kemerdekaan itu kita dapat menemukan kepribadian kita sendiri. Unsur-unsur dari luar harus kita anggap hanja sebagai pemegang funksi pembantu belaka, pendorong, stimulans, bagi kegiatan kita sendiri. Achirnja jang menentukan ialah manusia Indonesia sendiri, keringat Indonesia sendiri.
Dalam pembangunan ekonomi nasional, faktor lain jang amat penting ialah pembangunan alat-alat perhubungan dan pengangkutan. Negara kita adalah negara kepulauan, jang memerlukan amat kepada perhubungan dan pengangkutan. Marilah memperhatikan pengadjaran sedjarah. Tiga setengah abad lamanja kita membajar denda jang mahal atas kelalaian kita memelihara kesatuan bangsa. Tiga setengah abad lamanja kita mendjalani hukuman. Sekarang kita telah merdeka kembali karena dapat menggembleng kwmbali kesatuan bangsa itu, peliharalah terus baik-baik kesatuan bangsa itu, dan sempurnakanlah baik-baik kesatuan bangsa itu, politis dan ekonomis, dengan semua alat-alat penggembleng kesatuan jang diperlukan. Perikehidupan sesuatu bangsa, sebagai djuga perikehidupan manusia selalu mengenal dua alam. Alam batin dan alam zahir; alam spirituil dan alam materiil. Soal memelihara dan menjempurnakan kesatuan bangsa pun, politis dan ekonomi, mengenal dua alam ini. Kita harus memberi alat-alat perekat batin dan alat-alat perekat zahir kepada bangsa Indonesia supaja kesatuanja makin sempurna. Alat perekat batin amat perlu. Kesatuan suatu bangsa hanjalah dapat hidup benar-benar, djika didasarkan atas dasar jang lebih luas daripada bangsa itu sendiri. Dasar jang lebih luas itu ialah dasarnja batin, dasarnja djiwa. Alat perekat batin jang utama bagi bangsa Indonesia ialah Pantja Sila. Ingat, kita ini bukan dari satu suku bangsa. Ingat, kita ini bukan dari satu adat-istiadat. Ingat, kita ini bukan dari satu agama! Bhineka tunggal Ika, Bhinna Ika Tunggal Ika, “berbeda-beda tetapi satu” demikianlah tertulis dilambang Negara kita, dan tekanan katakau sekarang ini kuletakan kepada kata “binna”, jaitu “berbeda-beda”. Ingat, kita ini “binna”, kita ini “berbeda-beda”, dan untuk mempersatukan bangsa 80.000.000 djiwa jang berbeda itu, diperlukanlah satu semen batin jang dapat menjemen mereka semua. Dan semen batin itu ialah Pantja Sila. Satu-satunja semen batin jang dapat menjemen seluruh bangsa Indonesia jang beraneka warna itu, dari Sabang sampai ke Merauke, dari Miangas sampai ke Numodale, adalah Pantja Sila.
(Sumber: Amanat Presiden Soekarno pada Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1954 di Djakarta, Di Bawah Bendera Revolusi halaman 206 jilid ke II cetakan tahun 1965)
Jika kita mau belajar dan membaca kembali catatan lama para pendiri negeri ini maka hampir semuanya mengingatkan untuk menjaga persatuan dan kesatuan sebagai satu bangsa. Menjadi bangsa yang mandiri agar kita lebih dihargai. Satu-satunya dasar yang bisa diterima oleh seluruh lapisan rakyat Indonesia ialah Pancasila, tetapi jika dari kita sendiri ada yang berpikiran untuk mengganti dasar negara ini maka mana lagi yang akan mengikat kita menjadi satu bangsa. Bertambah lagi ada pihak-pihak yang menghendaki bendera Merah Putih-pun diganti, dan lebih disayangkan lagi ketika para pemuda yang menjadi tonggak perubahan dan tonggak pembangunan mudah masuk dalam hasutan, apakah ini mental pemuda kita saat ini? Apakah kita akan ikut terbawa menjadi bagian yang bermental tempe? Itu adalah pilihan, tetapi hendaknyalah dalam memilih itu kita tetap menjaga persatuan.
Manakala bangsa sendiri mudah diadu domba, diperalat oleh kepentingan suatu golongan yang tujuannya ialah memporak-porandakan Indonesia dari dalam yang tujuannya tidak lain ialah untuk menguasai Indonesia tanpa terlihat jelas bentuk penjajahannya. Apakah kita masih dijajah bangsa asing? Masih. Penjajahan itu kini berupa budaya, berupa teknologi, berupa iming-iming hidup enak dan praktis. Kita dijadikan sebagai pasar buangan dari yang tidak layak di negeri mereka. Namun anehnya, masyarakat kita menyambutnya dengan antusias. Mental kita dicetak sebagai mental konsumtif. Sehingga sebagaimana kita ketahui, pihak-pihak asing dengan mudah menguasai pasar modal dalam negeri, pertambangan, bahkan sampai bidang agraris pun petani lokal kalah tersaingi. Inilah yang harusnya kita benahi bersama untuk membangun negeri ini. Bukan hanya menjadi generasi muda yang manja, yang ngalem, yang mewekan, yang tergantung dan tidak paham berbuat bagaimana.
Pemuda-pemuda yang arif itu ialah yang turut berpikir untuk perubahan negerinya, sadar akan permasalahan di lingkungannya dan cepat tanggap dengan mencari jalan penyelesaiannya, dan jangan menjadi pemuda-pemuda yang hanya mengejar sesuatu untuk kesenangan syahwatnya.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tulis Komentar teman - teman di sini...!!!