1. Prof Nelson Tansu, PhD- Pakar Teknologi Nano
Berita dari Medan itu membuat Nelson Tansu lemas. Di Universitas Lehigh,
Pennsylvania, Amerika Serikat, tempatnya bekerja sehari-hari, Agustus 2
tahun lalu ia meradang. Kabar itu demikian membuatnya shocked: mama
tercintanya, Auw Lie Min, dan papa tersayangnya, Iskandar Tansu,
direktur percetakan PT Mutiara Inti Sari, tewas. Mereka dibunuh oleh
perampok di area perkebunan karet PTPN II Tanjung Morawa.
Peristiwa itu sempat membuatnya "tak percaya" terhadap Indonesia. Pria
kelahiran 20 Oktober 1977 ini adalah seorang jenius. Ia adalah pakar
teknologi nano. Fokusnya adalah bidang eksperimen mengenai semikonduktor
berstruktur nano.
Teknologi nano adalah kunci bagi perkembangan sains dan rekayasa masa
depan. Inovasi-inovasi teknologi Amerika, yang mempengaruhi kehidupan
sehari-hari seluruh orang di dunia, bertopang pada anak anak muda
brilian semacam Nelson. Nelson, misalnya, mampu memberdayakan sinar
laser dengan listrik superhemat. Sementara sinar laser biasanya perlu
listrik 100 watt, di tangannya cuma perlu 1,5 watt.
Penemuan-penemuannya bisa membuat lebih murah banyak hal. Tak
mengherankan bila pada Mei lalu, di usia yang belum 32 tahun, Nelson
diangkat sebagai profesor di Universitas Lehigh. Itu setelah ia
memecahkan rekor menjadi asisten profesor termuda sepanjang sejarah
pantai timur di Amerika. Ia menjadi asisten profesor pada usia 25 tahun,
sementara sebelumnya, Linus Pauling, penerima Nobel Kimia pada 1954,
menjadi asisten profesor pada usia 26 tahun. Mudah bagi anak muda
semacam Nelson ini bila ingin menjadi warga negara Amerika.
Amerika pasti menyambutnya dengan tangan terbuka. "Apakah tragedi orang
tuanya membikin Nelson benci terhadap Indonesia dan membuatnya ingin
beralih kewarganegaraan?" "Tidak. Hati Saya tetap melekat dengan
Indonesia," katanya kepada Tempo. Nelson bercerita, sampai kini ia getol
merekrut mahasiswa Indonesia untuk melanjutkan riset S-2 dan S-3 di
Lehigh. Ia masih memiliki ambisi untuk balik ke Indonesia dan menjadikan
universitas di Indonesia sebagai universitas papan atas di Asia.
Jawaban Nelson mengharukan. Nelson adalah aset kita. Ia tumbuh cemerlang
tanpa perhatian negara sama sekali. Bila Koran Tempo kali ini
menurunkan liputan khusus mengenai orang-orang seperti Nelson, itu
karena koran ini melihat sesungguhnya kita cukup memiliki ilmuwan dan
pekerja profesional yang berprestasi di luar negeri. Diaspora kita bukan
hanya tenaga kerja Indonesia. Kita memiliki sejumlah Nelson lain—di
Amerika, Eropa, dan Jepang. Orang orang yang sebetulnya, bila
diperhatikan pemerintah, akan bisa memberikan sumbangan berarti bagi
kemajuan Indonesia.
2. MUHAMMAD ARIEF BUDIMAN: MERAH-PUTIH DI SAINT LOUIS
Matahari setengah rebah di Medari, Sleman, Yogyakarta. Asar sudah
datang. Zakaria bergegas mencari anaknya, Muhammad Arief Budiman. Dia
bisa berada di mana saja: di sawah, di kebun salak pondoh, atau—jika
sedang beruntung—ia akan ditemukan di sekitar rumah. Zakaria harus
menemukannya sebelum matahari terlalu rebah, agar anaknya tak melewatkan
salat asar dan mengaji di musala.
Saint Louis, Missouri, Amerika Serikat. Tiga puluh tahun kemudian....
Di sebuah ruang kerja di kompleks Orion Genomic, salah satu perusahaan
riset bioteknologi terkemuka di negeri itu, seorang lelaki Jawa berwajah
"dagadu"—sebab senyum tak pernah lepas dari bibirnya—kerap terlihat
sedang salat. Dialah anak Zakaria itu. Pada mulanya bercita-cita menjadi
pilot, lalu ingin jadi dokter karena harus berkacamata sewaktu SMP,
anak pekerja pabrik tekstil GKBI itu sekarang menjadi motor riset utama
di Orion. Jabatannya: Kepala Library Technologies Group. Menurut
BusinessWeek, ia merupakan satu dari enam eksekutif kunci perusahaan
genetika itu.
Genetika adalah cabang ilmu biologi yang mempelajari gen, pembawa sifat
pada makhluk hidup. Peran ilmu ini bakal makin sentral di masa depan:
dalam peperangan melawan penyakit, rehabilitasi lingkungan, hingga
menjawab kebutu*an pangan dunia.
Arief tak hanya terpandang di perusahaannya. Namanya juga moncer di
antara sejawatnya di negara yang menjadi pusat pengembangan ilmu
tersebut: menjadi anggota American Society for Plant Biologists dan—ini
lebih bergengsi baginya karena ia ahli genetika tanaman—American
Association for Cancer Research.
Asosiasi peneliti kanker bukan perkumpulan ilmuwan biasa. Dokter
bertitel PhD pun belum tentu bisa "membeli" kartu anggota asosiasi ini.
Agar seseorang bisa menjadi anggota asosiasi ini, ia harus aktif
meneliti penyakit kanker pada manusia. Ia juga harus membawa surat
rekomendasi dari profesor yang lebih dulu aktif dalam riset itu serta
tahu persis riset dan kontribusi orang itu di bidang kanker. Arief
mendapatkan kartu itu karena, "Meskipun latar belakang saya adalah
peneliti genome tanaman, saya banyak melakukan riset genetika mengenai
kanker manusia," ujarnya.
Kita pun seperti melihat sepenggal kecil sejarah Indonesia yang sedang
diputar ulang. Pada akhir 1955, ahli genetika (dulu pemuliaan) tanaman
kelahiran Jawa yang malang-melintang di Eropa dan Amerika, Joe Hin Tjio,
dicatat dengan tinta emas dalam sejarah genetika karena temuannya
tentang genetika manusia. Ia menemukan bahwa kromosom manusia berjumlah
46 buah—bukan 48 seperti keyakinan ahli genetika manusia di masa itu
("The Chromosome Number of Man. Jurnal Hereditas vol. 42: halaman 1-6,
1956). Tjio—lahir pada 1916, wafat pada 2001—bisa menghitung kromosom
itu dengan tepat setelah ia menyempurnakan teknik pemisahan kromosom
manusia pada preparat gelas yang dikembangkan Dr T.C. Hsu di Texas
University, Amerika Serikat.
3. Prof Dr. KHOIRUL ANWAR: TERINSPIRASI KISAH FIRAUN
Bangkai burung, balsam gosok, dan kisah mumi Firaun. Siapa mengira tiga
benda sepele itu ada gunanya. Tapi itulah trio yang “menghidupkan” pria
kampung seperti Khoirul Anwar. Dia kini menjadi ilmuwan top di Jepang.
Wong ndeso asal Dusun Jabon, Desa Juwet, Kecamatan Kunjang, Kabupaten
Kediri, Jawa Timur, itu memegang dua paten penting di bidang
telekomunikasi. Dunia mengaguminya. Para ilmuwan dunia berkhidmat ketika
pada paten pertamanya Khoirul, bersama koleganya, merombak pakem soal
efisiensi alat komunikasi seperti telepon seluler.
Graduated from Electrical Engineering Department, Institut Teknologi
Bandung (with cum laude honor) in 2000. Master and Doctoral degree is
from Nara Institute of Science and Technology (NAIST) in 2005 and 2008,
respectively. Dr. Anwar is a recipient of IEEE Best Student Paper award
of IEEE Radio and Wireless Symposium (RWS) 2006, California, USA.
.
Prof Dr. Khoirul Anwar adalah pemilik paten sistem telekomunikasi 4G
berbasis OFDM (Orthogonal Frequency Division Multiplexing) adalah
seorang Warga Negara Indonesia yang kini bekerja di Nara Institute of
Science and Technology, Jepang.
Dia mengurangi daya transmisi pada orthogonal frequency division
multiplexing. Hasilnya, kecepatan data yang dikirim bukan menurun
seperti lazimnya, melainkan malah meningkat. “Kami mampu menurunkan
power sampai 5dB=100 ribu kali lebih kecil dari yang diperlukan
sebelumnya,” kata dia. Dunia memujinya. Khoirul juga mendapat
penghargaan bidang Kontribusi Keilmuan Luar Negeri oleh Konsulat
Jenderal RI Osaka pada 2007.
Pada paten kedua, lagi-lagi Khoirul menawarkan sesuatu yang tak lazim.
Untuk mencapai kecepatan yang lebih tinggi, dia menghilangkan sama
sekali guard interval (GI). “Itu mustahil dilakukan,” begitu kata
teman-teman penelitinya. Tanpa interval atau jarak, frekuensi akan
bertabrakan tak keruan. Persis seperti di kelas saat semua orang bicara
kencang secara bersamaan.
Istilah ilmiahnya, terjadi interferensi yang luar biasa. Namun, dengan
algoritma yang dikembangkan di laboratorium, Khoirul mampu menghilangkan
interferensi tersebut dan mencapai performa (unjuk kerja) yang sama.
“Bahkan lebih baik daripada sistem biasa dengan GI,” kata pria 31 tahun
ini.
Dua penelitian istimewa itu mungkin tak lahir bila dulu Khoirul kecil
tak terobsesi pada bangkai burung, balsam yang menusuk hidung, serta
mumi Firaun. Bocah kecil itu begitu terinspirasi oleh kisah Firaun, yang
badannya tetap utuh sampai sekarang. Dia pun ingin meniru melakukan
teknologi “balsam” terhadap seekor burung kesayangannya yang telah mati.
“Saya menggunakan balsam gosok yang ada di rumah,” kata anak kedua dari
pasangan Sudjianto (almarhum) dengan Siti Patmi itu.
Khoirul berharap, dengan percobaannya itu, badan burung tersebut bisa
awet dan mengeras. Dengan semangat, ia pun melumuri seluruh tubuh burung
tersebut dengan balsam gosok. Sayangnya, hari demi hari berjalan, kata
anak petani ini, “Teknologi balsam itu tidak pernah berhasil.”
Penelitian yang gagal total itu rupanya meletikkan gairah meneliti yang
luar biasa pada Khoirul. Itulah yang mengantarkan alumnus Jurusan Teknik
Elektro Institut Teknologi Bandung tersebut kini menjadi asisten
profesor di JAIST, Jepang. Dia mengajar mata kuliah dasar engineering,
melakukan penelitian, dan membimbing mahasiswa. Saat ini Khoirul sedang
menekuni dua topik penelitian yang dilakukan sendiri dan enam topik
penelitian yang digarap bersama enam mahasiswanya.
4. ANDRIVO RUSYDI: KOKI TEKNOLOGI NANO ASAL PADANG
Hari-hari Andrivo Rusydi menetap di negeri sendiri hanya bisa dihitung
dengan jari. Pemuda 33 tahun ini mesti wira wiri antarbenua sepanjang
tahun untuk menjalani riset-risetnya di bidang teknologi nano. Ia memang
salah satu dari sedikit anak bangsa negeri ini yang menguasai teknologi
pengontrol skala atom dan molekul itu. Sebuah keahlian
yang—terutama—banyak dibutu*kan di negara maju.
Maka negeri-negeri semacam Singapura, Amerika Serikat, Jerman, dan
Kanada membuka lebar-lebar pintu riset bagi urang awak ini. Mari kita
lihat jejak-jejak kejeniusannya, yang sudah diakui dunia internasional,
itu. Saat ini Andri adalah peneliti tetap dan pengajar mata kuliah
nanotechnology dan nanoscience di Universitas National Singapura (NUS).
Di universitas ini pula ia mendapatkan gelar profesor pada usia 31
tahun. Sejak awal tahun ini, dia diangkat menjadi anggota Singapore
International Graduate Award atau supervisi para doktor lulusan NUS.
Lalu, di Jerman, suami Sulistyaningsih ini menjadi profesor tamu pada
Center for Free Electron Laser dan Institute for Applied Physics of
University of Hamburg. Di sini, selain mengajar, Andri membimbing
mahasiswa diploma sampai doktoral.
Penjelajahannya yang intensif di ranah teknologi nano juga membuat
sulung dari empat bersaudara ini juga menjadi peneliti tamu di
Departemen Fisika Universitas Illinois di Urbana, Amerika Serikat, dan
Universitas British Columbia, Kanada.
Jejak akademisnya memang terpacak hingga ke berbagai pelosok dunia. Tak
hanya itu, teknik riset yang ia kembangkan kemudian dimanfaatkan di
berbagai negara, antara lain Amerika Serikat, Prancis, Korea, Jepang,
Australia, Jerman, Kanada, dan Taiwan.
Dengan reputasi akademik internasional semacam itu, Andri tak ingin
terlena. Dia ingin berbakti kepada tanah airnya untuk memajukan dunia
ilmu di negeri ini. Caranya lewat kerja sama penelitian dan beasiswa
tingkat doktoral dari dana-dana penelitian yang diperolehnya.
5. AKU PULANG, AKU BERJUANG, AKU MENANG
Belasan tahun belajar di luar negeri. Tanpa bantuan pemerintah, penelitian mereka berhasil di Tanah Air.
Robot itu bernama Sona CT x001. Di sebuah jendela ruko di perumahan
Modernland, Tangerang, robot yang dibekali dua lengan itu sedang
memindai tabung gas sepanjang 2 meter. Di bagian atas robot, layar
laptop menampilkan grafik hasil pemindaian. Selasa dua pekan lalu itu,
Sona—buatan Ctech Labs (Center for Tomography Research Laboratory) Edwar
Technology—sedang diuji coba. Alat ini sudah dipesan PT Citra Nusa
Gemilang, pemasok tabung gas bagi bus Transjakarta. “Di dalam ruko tidak
ada tempat lagi untuk menyimpan Sona dan udaranya panas,” kata Dr
Warsito P. Taruno, pendiri dan pemilik Edwar Technology.
Sona harus berada di ruangan yang suhunya di bawah 40 derajat Celsius.
Perusahaan migas Petronas, kata Warsito, tertarik kepada alat buatannya.
Kini mereka masih dalam tahap negosiasi harga dengan perusahaan raksasa
milik pemerintah Malaysia tersebut. Selain Sona, Edwar Technology
mendapat pesanan dari Departemen Energi Amerika Serikat. Nilai pesanan
lumayan besar, US$ 1 juta atau sekitar Rp 10 miliar.
Bahkan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) pun memakai teknologi
pemindai atau Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT) temuan
Warsito. Lembaga ini mengembangkan sistem pemindai komponen dielektrik
seperti embun yang menempel di dinding luar pesawat ulang-alik yang
terbuat dari bahan keramik. Zat seperti itu bisa mengakibatkan kerusakan
parah pada saat peluncuran karena perubahan suhu dan tekanan tinggi.
ECVT adalah satu-satunya teknologi yang mampu melakukan pemindaian dari
dalam dinding ke luar dinding seperti pada pesawat ulang-alik. Teknologi
ECVT bermula dari tugas akhir Warsito ketika menjadi mahasiswa S-1 di
Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia, Universitas Shizuoka, Jepang,
tahun 1991. Ketika itu pria kelahiran Solo pada 1967 ini ingin membuat
teknologi yang mampu “melihat” tembus dinding reaktor yang terbuat dari
baja atau obyek yang opaque (tak tembus cahaya). Dia lantas melakukan
riset di Laboratorium of Molecular Transport di bawah bimbingan Profesor
Shigeo Uchida.
6. SONJA DAN SHANTI SUNGKONO: SI KEMBAR PENAKLUK BERLIN
Penampilan mereka memukau publik musisi klasik, dari Eropa hingga
Amerika. Diganjar pelbagai penghargaan internasional bergengsi.
Suatu hari, di hadapan publik musik klasik Berlin, Jerman, penampilan
duo pianis kembar Sonja dan Shanti Sungkono tampak eksotis. Di atas
pentas, tubuh kedua perempuan berwajah Jawa ini dibalut kebaya dengan
siluet brokat keperakan. Rambut mereka disanggul. Penampilan keduanya
jauh dari penampilan panggung para musisi klasik yang konservatif—yang
umumnya muncul dengan gaun panjang warna hitam.
Duet Sonja-Shanti tak sedang ingin tampil unik, apalagi nyentrik, dengan
gaya tersebut. Model penampilan itu boleh dibilang telah menjadi ciri
khas sekaligus identitas mereka sebagai perempuan Indonesia dalam
pelbagai pentas di mancanegara. Selain penampilan, dalam setiap
pertunjukan, keduanya selalu memperkenalkan diri sebagai duo pianis
Indonesia. “Dari penampilan saja kelihatan, kami bukan orang Jerman,”
kata keduanya, yang sejak 1991 bermukim di Berlin.
Toh, bukan lantaran penampilan itu yang membuat mereka memukau.
Kepiawaian jari-jari mereka menari di atas tuts pianolah yang dikagumi
penikmat musik klasik, baik di Jerman maupun di kota-kota besar lain di
mancanegara.
Bahkan permainan Sonja-Shanti telah mencuri perhatian para musisi dan
kritikus musik klasik Eropa. Di Jerman, penampilan mereka dipuji
sebagai, “Benar-benar pertunjukan yang indah, mengagumkan, dan
profesional.”
Prestasi mereka pun patut dibanggakan. Mereka meraih Jerry Coppola Prize
dalam lomba duet piano di Miami, Amerika Serikat, pada 1999. Dua tahun
berturutturut, 2001 dan 2002, mereka menyabet Prize Winners Juergen
Sellheim Foundation di Hannover, Jerman. Lalu pada 2002 menjadi juara
ketiga Torneo Internazionale di Musica di Italia. Terakhir, mereka
menggondol Prize Winners pada National Piano Duo Competition di
Saarbrucken, Jerman, pada 2003.
Album pertama mereka, Works for Two Pianos, dirilis pada 2002. Dua tahun
berselang, Sonja-Shanti menelurkan album kedua bertajuk 20th Century
Piano Duets Collection. Kedua album berformat CD itu di bawah label NCA
Jerman. Peredaran album kedua lebih luas dari yang pertama.
Selain di Jerman, album tersebut beredar di Prancis, Italia, Austria,
Swedia, Jepang, dan Amerika. Kedua album itu juga mendapat apresiasi
yang cukup antusias dari sejumlah media musik klasik di Eropa. Selain
itu, kedua album tersebut masuk arsip Perpustakaan Musik Naxos—produser
musik klasik dunia yang menyimpan sekitar 36 ribu album.
7. ARI MUNANDAR: SATU-SATUNYA EXECUTIVE CHEF ASIA DI EROPA
Koki asal Korea Selatan itu berusia di kisaran 30 tahun dan bekerja di
satu hotel di Praha. Suatu hari ia meminta bertemu dengan Ari Munandar,
ahli masak kelahiran Purwokerto, Jawa Tengah, yang sekarang memimpin
pasukan koki di Hotel Hilton Praque Old Town, Praha, Republik Cek.
Tanpa
basa-basi ia mengatakan ingin direkrut dan bekerja di bawah Ari, yang
jabatan resminya biasa disebut executive chef atau chef de cuisine.
Mengapa? "Karena Anda satu-satunya executive chef dari Asia di Eropa,"
begitu Ari menirukan ucapan koki Korea Selatan itu kepada dirinya.
Executive chef merupakan jabatan sangat bergengsi, apalagi di jaringan
hotel top seperti Hilton. Ari, yang baru berusia 37 tahun, sebelumnya
tidak pernah berpikir ia satu-satunya executive chef asal Asia di hotel
berbintang lima di Eropa. Tapi, setelah ia coba mencari tahu, ucapan
koki Korea itu mungkin benar.
Tidak ada nama Asia—termasuk dari Jepang—yang menjadi executive chef di
hotel prestisius di Eropa. "Kecuali di Amsterdam, mungkin," kata Ari. Di
Amsterdam, ada beberapa koki top asal Indonesia. Wajar bila Ari menepuk
dada. Lebih bangga lagi karena sekitar tiga bulan silam, saat mulai
pindah ke Zinc di Hilton Praque Old Town, ia masuk berita di media massa
setempat. Sebelum Ari masuk, Hilton memiliki restoran bernama Maze yang
dikelola koki top yang bahkan sudah menjadi pesohor di Inggris,
Gordon Ramsay. Tiba-tiba saja Ramsay menarik Maze dari Hilton sehingga
mereka meminta Ari pindah ke tempat mereka. Saat proses perpindahan Ari
ke Hilton, tanpa diduga Maze—yang sudah akan ditutup—mendapat bintang
Michelin. Anugerah ini penghargaan paling bergengsi dunia bagi sebuah
rumah makan. Di Republik Cek, sebelum Maze, hanya ada satu rumah makan
yang mendapat bintang Michelin, yakni di Hotel Four Seasons.
Tak mengherankan, media Republik Cek tertarik mendengar kabar ini.
"Mereka penasaran," kata Ari, "seperti apa nantinya (restoran di Hilton
Praque Old Town di bawah saya)." Publik Praha sesungguhnya tidak terlalu
asing dengan Ari. "Saya sudah punya nama di sini," kata Ari. Ketenaran
itu ia dapat saat selama tiga tahun sebelumnya menjadi executive chef di
Mandarin Oriental Praha. Jabatan bergengsi di Mandarin Oriental didapat
sesaat setelah ia mulai bekerja di sana pada 2006. Saat masuk ke
Mandarin Oriental, ia menjadi sous chef de cuisine alias wakil kepala
koki. Hanya dua bulan bekerja, executive chef tempat itu mengundurkan
diri.
8. BERKELEBAT MENEBAR SILAT
Di negeri orang, mereka menebarkan bela diri tradisional Indonesia itu dengan kegigihannya sendiri.
Bertopeng kingkong, Yuli Purwanto, 47 tahun, tangkas memainkan beberapa
jurus pencak silat di panggung. Gerakannya lincah. Kadang terlihat
lentur meliuk, acap kali berkelebat cepat. Diiringi iringan kendang nan
rancak, penampilan pria yang akrab dipanggil Ipung ini memang memikat.
Di puncak aksinya, Ipung kemudian menyurukkan wajahnya ke selembar batik
yang dihamparkan di panggung, topengnya dilepas, lalu tampillah wajah
aslinya dengan kain batik yang dibikinnya menjadi udheng.
Gerakan pencak silat Ipung itu bisa dinikmati pemirsa di mana pun lewat
situs YouTube. Dari situs ini pula wawancara Ipung dalam bahasa Jepang
dengan televisi pemerintah nasional Jepang, NHK, bisa diakses. Di
tayangan ini Ipung menjawab segala hal soal silat. Jangan heran jika
Ipung membicarakan silat dalam bahasa Jepang. Dia, bersama Soesilo
Soedarmadji dari perguruan Perisai Diri dan Djaja dari Panglipur, adalah
penyebar seni bela diri tradisional Indonesia itu di Jepang 13 tahun
lalu. Ini tentu menjadi petualangan menarik bagi ketiganya. Maklum,
negeri itu sudah punya tradisi bela diri sendiri yang berusia panjang,
yakni karate, judo, kendo, aikido dan ju-jitsu.
Tantangan lain adalah adanya persoalan bahasa dan budaya yang berbeda.
Tapi ketiga pendekar itu tak putus asa, apalagi dukungan moril dari
Ikatan Pencak Silat Indonesia cukup kuat. Ini masih ditambah adanya
dukungan dana dari Bimantara pada tiga tahun pertama. "Setelah itu,
bergantung pada iuran peserta," kata Ipung. Penyebaran pencak silat di
Jepang dimulai dari masyarakat Indonesia, sekolah-sekolah Indonesia, dan
karyawan Departemen Luar Negeri. Penyebaran ke khalayak banyak dan
penggemar bela diri dilakukan dengan cara memperbanyak pergelaran.
Pergelaran-pergelaran itu rupanya cukup ampuh.
"Gerakan meliuk-liuk seperti tarian dalam kembangan diiringi musik
tradisional Indonesia sangat menarik khalayak," kata Ipung. Untuk
menarik praktisi bela diri, Ipung berduet dengan Soesilo menggelar
pertunjukan di dojo (tempat latihan karate) dan pemusatan aikido serta
bela diri setempat lainnya.
Tak disangka, "Mereka welcome," kata Ipung. Mereka tertarik justru
karena gerakan silat yang lentur sekaligus kaya tipuan dan kuncian. Ini
berbeda dengan bela diri Jepang, yang berkarakter kaku-keras. Melihat
perkembangan menarik itu, televisi lokal, yakni NHK dan Fuji TV, kerap
menayangkan olahraga silat. Silat juga ditampilkan di festival rutin
yang digelar di kelurahan-kelurahan dan di masa liburan pada
Juli-Agustus. Silat pun sudah masuk agenda rutin festival setempat.
Ipung kini memiliki dua asisten pelatih Jepang, selain asisten pelatih
Indonesia.
9. Sehat Sutardja, Ph.D - CEO dan Pendiri Marvell Technology Group
Sehat
Sutardja, Ph.D, adalah CEO dan pendiri Marvell Technology Group dan
menjadi presiden, pemimpin eksekutif sejak 1995. Ia juga menjadi
presiden, pemimpin eksekutif, dan direktur pada perusahaan semikonduktor
Marvell.
Ia dilahirkan di Jakarta, Indonesia. Sehat Sutardja menamatkan
pendidikan menengahnya di Kolese Kanisius. Kemudian melanjutkan
pendidikan di Amerika Serikat dan meraih sarjana sains di teknik
elektrik dari Universitas Negeri Iowa. Ia juga menjalani pendidikan
pascasarjana Master of Science (M.Sc) dan Ph.D. dalam bidang teknik
elektrik dan ilmu komputer dari Universitas California, Berkeley.
Ia menikahi Weili Dai, dan merupakan saudara dari Pantas Sutardja, yang
juga turut mendirikan Marvell. Dia beserta istri dan adik termudanya,
Patan adalah miliarder yang memiliki saham di Intel sebesar 22 persen.
Marvell menguasai seluruh aset perusahaan Intel termasuk sumber daya
manusianya. Sebagian besar pekerja dari sekitar 1400 orang tetap
dipertahankan Marvell pada unit bisnis yang baru dibelinya dari Intel.
Karirnya dimulai dari tahun 1989 hingga 1995 ketika menduduki manajer dan pemimpin teknis proyek 8×8.
Marvell yang juga berpusat di Santa Clara, AS merupakan vendor chip dan
komponen yang banyak dipakai di berbagai perangkat elektronika.
Sedangkan unit bisnis yang dibeli dari Intel menghasilkan prosesor yang
dibangun dari teknologi XScale Intel. Prosesor-prosesor berbasis XScale
telah dipakai di banyak perangkat elektronika, misalnya Blackberry dan
Treo.
Bisnis chip yang dikelola oleh Marvell secara nyata telah sukses
menempati pangsa pasarnya sendiri dan tentunya sukses pula menghasilkan
pundi-pundi uang bagi pembuatnya. Marvell telah mendominasi setiap pasar
yang telah mereka pilih, keunggulan mereka adalah menawarkan produk
berdesain superior dengan harga premium.
Produknya mampu mengalahkan pesaing mereka yaitu Texas Instruments dan
Broadcom di pasar komunikasi seperti radio Wi-Fi dan Ethernet port. Chip
besutan Marvell sangat mudah ditemukan pada Cisco switch, Apple iPod,
Xbox 360 atau di dalam disk drive produk perusahaan besar lainnya.
Dengan bekerjasama dengan Intel, Marvell nampak semakin hebat dan bisa
mensejajari Qualcomm, Freescale Semiconductor dan TI.
Marvell terus berkembang setiap kuartalnya sejak penjualan saham mereka
ke publik pada 2000 silam dan kini saham mereka meningkat hingga lima
kali lipat.
Pada 2007, majalah Forbes memasukkan Sehat Sutardja sebagai salah satu orang terkaya di Amerika Serikat.
Saat ini, Marvell yang mempunyai 5,000 karyawan, mempunyai fasilitas
riset dan disain di Aliso Viejo, Arizona, Colorado, Massachusetts, San
Diego and Santa Clara. Di luar Amerika Serikat, Marvell juga mempunyai
fasilitas riset dan disain di Jerman, India, Israel, Itali, Jepang,
Singapore dan Taiwan.Marvell: 1 in 2 phones will soon be smartphones
NEW YORK, USA - Marvell Technology Group Ltd Chief Executive Sehat
Sutardja said he expects multimedia-enabled smartphones to account for
at least 50 percent of all cell phones in the next three to four years,
and grow even more popular in the following years.
"Smartphones today are only addressing the tip of the pyramid," Sutardja
told the Reuters Global Technology Summit in New York on Monday.
"I would say in the next three to four years, at least 50 percent of the
market will move to smartphones," he said, adding that may grow to 90
percent in six to seven years.
Sutardja also said it was hard to tell if technology demand was
recovering, noting it was hard to distinguish between temporary moves to
replenish inventory and a real rebound in demand.--Reuters
10. JOHNY SETIAWAN, Ph.D - Penemu Planet Pertama dan Bintang Muda
Johny Setiawan membuat mata dunia tercengang dengan penemuan planet pertama yang mengelilingi bintang baru TW Hydrae.
PENEMUAN itu sangat spektakuler karena dari 270 planet di luar tata
surya yang telah ditemukan astronom dalam 12 tahun terakhir, tak satu
pun planet yang muncul dari bintang muda.
Johny yang memimpin tim peneliti di Max Planck Institute for Astronomy
(MPIA), Heidelberg, Jerman itu menemukan planet pertama yang disebut TW
Hydrae b dan bintang baru TW Hydrae dengan menggunakan teleskop
spektrograf F EROS sepanjang 2,2 meter di La Silla Observatory, Chile.
”Ketika kami mengamati kecepatan lingkaran gas TW Hydrae, kami
mendeteksi sebuah variasi periodik yang tidak berasal dari aktivitas TW
Hydrae. Kami mengamati kehadiran sebuah planet baru (TW Hydrae b),”
ungkap Johny kepada SINDO tadi malam. Planet baru yang ditemukan itu
memiliki bobot sekitar sepuluh kali berat Planet Yupiter, planet
terbesar dalam Sistem Tata Surya.
Planet baru itu mengorbiti TW Hydrae dalam waktu 3,56 hari dengan jarak
sekitar 6 juta kilometer. Ini dapat disamakan dengan 4% jarak antara
Matahari dan Bumi. Dengan penemuan tim yang dipimpin Johny tersebut,
peneliti dapat membuat kesimpulan penting tentang waktu pembentukan
planet.Sejumlah pertanyaan pelik yang selama ini dihadapi peneliti,
seperti bagaimana dan di mana sistem planet terbentuk?
Bagaimana arsitektur planet? Seberapa lama proses pembentukannya?
Bagaimana posisi planet-planet seperti bumi di Galaksi Bima Sakti? Akan
segera terjawab. Johny menyadari pentingnya penemuannya tersebut. Dia
menjelaskan, bagaimana planet yang baru berumur 8–10 juta tahun (sekitar
1/500 tahun umur Matahari) itu sebagai sebuah kejutan di Tahun Baru
ini.
Peneliti lain dalam tim Johny menjelaskan bahwa pihaknya tidak salah
menyimpulkan bahwa planet baru itu memang muncul. ”Untuk menghindari
salah tafsir atas data, kami telah menginvestigasi seluruh aktivitas
yang mengindikasikan TW Hydrae b. Tapi karakteristik planet baru ini
sangat berbeda dari perputaran gas di lingkaran utama bintang baru itu.
Mereka lebih stabil dan memiliki periode yang pendek,” papar Ralf
Launhardt, koordinator program penelitian planet luar tata surya di
sekeliling bintang-bintang muda.
Planet terbentuk dari gas dan debu dalam sebuah cakram yang berputar
pendek setelah kelahiran sebuah bintang. Tidak keseluruhan proses
terbentuknya planet baru ini dipahami pakar. Meski demikian, penemuan TW
Hydrae b menyediakan teori baru tentang pembentukan planet.
Berdasarkan studi statistik, Johny memperkirakan rata-rata keadaan
cakram gas dan debu itu akan membentuk planet dalam waktu maksimal 10–30
juta tahun. Johny menandaskan, penemuan TW Hydrae b merupakan bukti
langsung bahwa pembentukan sebuah planet raksasa tidak bisa lebih lama
dari usia bintang yang diorbitinya, 8–10 juta tahun.
”Ini merupakan penemuan paling luar biasa dan spektakuler dalam studi
planet-planet di luar tata surya. Untuk pertama kali, kita telah
menemukan langsung bahwa planet-planet terbentuk dalam lingkaran cakram.
Penemuan TW Hydrae b membuka jalan untuk mengaitkan evaluasi lingkaran
cakram dengan proses pembentukan dan migrasi planet,” papar Thomas
Henning, direktur Planet and Star Formation Department di MPIA.
Johny memaparkan, peneliti di MPIA kini sedang mengembangkan peralatan
generasi baru untuk mendeteksi planet-planet dengan teknik berbeda.
Misalnya dengan instrumen baru astrometri untuk mengamati gerakan sebuah
bintang saat melintasi planet di antariksa, serta transit fotometri
untuk mengamati planet saat bergerak di depan bintang.
”Kita akan lebih memahami formasi planet saat kita mengetahui
keanekaragaman sistem planet. Kita akan mampu menempatkan Sistem Tata
Surya kita dalam sebuah konteks universal. Akhirnya, tentu di masa depan
kita dapat menjawab pertanyaan: ’apakah kita sendirian di Semesta?”
ungkap Johny yang baru tiba di Heidelberg setelah pekan lalu berlibur di
Jakarta.
Johny merupakan warga Indonesia yang tinggal di Kota Heidelberg, Jerman.
Sebagai seorang astronom yang sedang melakukan riset post doctoral,
pria kelahiran 16 Agustus 1974 di Jakarta itu mengaku telah memiliki
ketertarikan tentang perbintangan sejak kecil. Alumnus SD St.Fransiskus I
dan SMP Immaculata, Marsudirini, itu kemudian melanjutkan pendidikan di
SMA Fons Vitae I, Marsudirini, Jakarta.
Setamat SMA, pada 1992–1993,Johny mengenyam pendidikan pra-universitas
di Studienkolleg Heidelberg,Jerman. Johny kemudian mempelajari Fisika di
Albert-Ludwigs-Universitat, Freiburg, Jerman, dan mengambil Master di
Kiepenheuer-Institute for Solar Physics, Freiburg. Disertasinya di
Kiepenheuer-Institute for Solar Physics, Freiburg, berjudul Radial
velocity variation of G and K Giants.
Sejak Juni 2003, Johny bekerja sebagai peneliti post-doctoral di MPIA,
di Department of Planet and Star Formation (Prof. Dr.Thomas Henning).
Wilayah risetnya saat ini meliputi planet-planet di luar tata surya di
sekitar bintangbintang muda dan bintang-bintang yang sedang terbentuk.
Selain itu,Johny yang tinggal di Bintaro Sektor IX ini juga meneliti
atmosfer yang berperan sebagai bintang.
”Secara khusus saya bekerja di sejumlah proyek seperti ESPRI (Pencarian
Planet dengan PRIMA/ Phase-Referenced Imaging and Micro-arcsecond
Astrometry). Di sini saya menyeleksi dan mengamati karakteristik
bintangbintang untuk program pencarian planet,”ungkapnya. Sejak 2003,
Johny memimpin penelitian di observasi bintang dan planet ESO La Silla.
”Kami telah sukses mendeteksi sejumlah planet yang saling berhubungan,”
ungkap Johny yang memiliki kemampuan bahwa Jerman, Inggris, dan Spanyol.
Di tengah kesibukannya meneliti, Johny meluangkan waktu untuk
menyalurkan sejumlah hobi yang beragam, mulai memasak, jalan-jalan,
olahraga renang dan fitnes, melukis dengan akrilik, serta bermain piano.
11. Endri Rachman - Pencipta UAV Tamingsari dari Arcamanik Bandung
Tamingsari Vs Kujang
In Malay story, Tamangsari is Hang Tuah’s sacred weapon in the form of
Kris which can fly looking for the target without the owner’s control.
That name then become the name of an unmanned planed called unmanned
Aerical Vehicle/UAV. Tamingsari is now a UAV identical made in Malaysia.
Whereas in fact, UAV Tamingsari is purely made in Indonesia, even it’s
made in Arcamanik, Bandung.
Like the famous Malaysia customs to claims others’ belonging, UAV which
is developed by the former of IPTN worker Endri Rachman since 2000 and
made in Arcamanik in 2004 is not missed from their claim. Let’s see the
headline of Malaysian newspaper, The Star, 25 September 2005 which is
provocative “Our Own Spy Plane Prototype”, strengthen that claim.
“Actually, I made the UAV Tamingsari, it’s made in Arcamanik.
Fortunately, Tamingsari is still controlled manually using remote
control, not using autopilot logic like I develop,” said Endri when
meeting Kompas in his UAV plane factory in Arcamanik.
Malaysia
Hurt by Malaysia manner, Endri silently continues UAV development which
is different to Tamingsari. It is UAV that follows autopilot logic
flight because of software that he designed.
Now, ****ther with his colleagues in Globalindo Technology Services
Indonesia (GTSI), he established a company made UAV with its office in
Cihampelas Street, Bandung. He still completes his UAV flying ability.
In this company, run by four German, ITB, and IPTN technicians and 12
workers graduated from STM who work daily in plane factory in Arcamanik,
born UAV named Kujang. Even though it can’t fly automatically like
Tamingsari, Kujang is still Sundanese weapon with shape like crescent
which is famous with its power.
Unfortunately, the first buyer for Kujang is a Malaysia research
institution. In his own country, Endri with his developed UAV is no one!
“At least, when brought to Malaysia, the name is Kujang,” hoped Endri,
who diasporas to the neighbor country as a lecturer after the agony of
IPTN.
The glaring differences between Tamingsari and Kujang which both are
made by Endri is on their work. Tamingsari is controlled by remote
control so its exploration is limited because it has always seen by the
eye sight. Miss a little from radio wave radius which is limited, it
flies uncontrolled and never hopes it will come back.
Different from Kujang which is an unmanned smart plane, in the try out
in Sulaeman airport, Bandung, Kujang has successfully follows
automatically flight logic based on determined coordinate dots.
Something that will never be done by Tamingsari!
Even though Endri admits that he’s irritated to Malaysian claim in his
work result, he said that he is thankful to this country which has
willingness to accommodate he and his family this long.
When going out of IPTN in 1998 Indonesia only gave him less than Rp. 1
million for his salary, Malaysia appreciates him Rp.15 millions a month
plus house and vehicle as the lecturer’s facilities.
Freedom
The University, where he serves, is Universiti Sains Malaysia (USM),
also gives freedom for using the complete aeronautical laboratory. In
the USM Laboratory, Endri finds autopilot logic for UAV plane which he
develops, and then he named it Kujang.
****ther with his friend, the IPTN refugees, Endri determines to still
produce UAV in Indonesia even though they do it alone without the
government help. [/indent][indent]Airplane factory in Arcamanik
What do you imagine if a home industry is not only making a motorcycle
or car spare parts, but also making airplane spare parts? Not only
making a component, but also the whole airplane!
This isn’t fantasy, but real. This airplane factory is in Indonesia, in
Aero modeling 4, Arcamanik, in east Bandung, to be exact. It is at a
yard of a citizen’s house. Maybe the west java governor or Bandung
regent governor had never known the presence of this airplane home
factory.” If they had known, of course there would have been a few
attentions,” said Jaka Prahasta, the production head of PT Globalindo
Technology Services Indonesia (GTSI), when we met in the factory, in the
middle of December 2007.
Well this is not an ordinary airplane which transports the passengers,
but the unmanned Aerial Vehicle (UAV) home industry. We can’t call it
mini plane, because UAV has 3 meters wide wings, 2.6 meters length body,
and 20 kilos weight, including the camera inside of it. Made by
fiberglass made in the factory, UAV can fly on 1.000 meters height for 2
– 3 hours with the maximum speed 150 kilometers per hour.
It’s different from manual remote control plane, UAV which has 12 volt
electrical power can fly autonomously because GPS navigation which is
planted in its body. The remote control, two sticks with six lines, is
only used when the plane is taking off or landing. The rest, it flies
autonomously searching coordinate dots which are determined before it
flies using free Google earth map.
UAV application is not only to stop on forest fire, search accident
victim, monitor maritime traffic, search underground mineral, or monitor
outpouring dots of Lapindo mud, but also, for example, it’s developed
to be a spy plane.
At the citizen’s house which half of their yard become factory, is
produced also teen of aero modeling types plane for sport and hobby,
from helicopter to military plane made by 12 technicians graduated from
STM (technical senior high School degree). The price for a plane starts
from Rp.15 millions to Rp.25 millions. However, the main business, which
is seriously made, is AUV.
When Kompas visits this airplane home industry, a UAV ordered by a
Malaysian research institution had already made. On 24 December 2007,
UAV, then named Kujang, had successfully followed flying test in
Sulaeman Airport, Bandung. Kujang – one of the Sundanese weapons – flies
for 30 minutes, has successfully followed the determined route without
any radio control, until lands safely.
The logic Expanded
Who is the brain behind the born of this UAV, which is high technology,
made in Arcamanik? He’s Endri Rachman, the refugee of PT. Industry
Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) who has moved to Malaysia since eight
years ago for improving his ability as a lecturer.
Kompas has still written this man, graduated from S2 of technical
university of Brunswick, German, majoring in autopilot model when met
one year ago. “I want to produce UAV with autopilot logic in Indonesia,
Bandung for exact.” He said. (Kompas, 29/12/2006). Seems he proves his
words.
Not nationalist? “It’s up to the people what they want to say. I am the
citizen of Indonesia. If I’m not a nationalist, I won’t develop the
plane factory in Arcamanik, but in Malaysia. The presence of this
factory in order to make Malaysia doesn’t claim that UAV I developed is
theirs,” said Endri when met in the office of UAV instruments
development in an office house in Cihampelas Street, Bandung.
For bring his plan into reality, Endri with his colleagues IPTN alumnus
establish PT GTSI with beginning capital, according to him, less than
Rp.300 millions. In the second floor of this office house work airplane
technicians who are mainly graduated from Bandung Technical Institute
(ITB) and IPTN. There is Asep Permana, graduated from German and IPTN in
business development. Widyawardana, graduated from electronic technical
ITB in UAV avionic system development. There’s also Muhajirin, drawing
manager who designs UAV shape. Endri himself is the chief director.
Why, with the capital that we can’t say big, Endri and friends bravely
do the big step by establishing UAV factory in Indonesia? The answer is
“the well known Name”, it’s the Endri’s name as the plane innovator
which is sold well in Malaysia. Even the Malaysian people who ordered
the first UAV bravely gave first payment 70 percent of the UAV price.
Widyawardana admits the engine is still imported from The USA. However,
in the future, he said, PT. GTSI has already designed UAV engine. What
is worked by the technicians in the second floor of the office house
only to calculate, construct and develop the software and the hardware
will be planted in the UAV. “We develop the logic. Therefore, if talking
about software it isn’t just for the UAV. Commonly, it can be used in
the other moving things, like unmanned submarine or even the guided
missile which can’t be reached by eye sight,” he said.
“Technopreneur” Association
Asep and his colleagues at PT GTSI have a huge dream, gathering the IPTN
alumnus who are now many of them scattered in business but not in the
plane business, called the
“Technopreneur”. It’s not the social secret, after IPTN was shaky, in
the same time; BJ Habibie finished his contribution in the government,
the IPTN reliable technicians had scattered in many places.
Most of them run to the foreign country, like Endri went to Malaysia.
There are also still defended in Indonesia. Asep mentions several names,
such as Husin, a helicopter master, who is a west java DPRD member.
There is also Lian Darmakusumah, the best graduate of France
aeronautical, which is now a businessman. For bring this step into
reality, PT GTSI exquisites a workshop that, in the past, only makes
aero modeling plane. This controlled plane for hobby is still
maintained. The decision to develop UAV isn’t wrong. Endri admits that
he has already received a new order, also from Malaysia, for making the
second Kujang.
Source: Kompas
12. Kendro Hendra - Pencipta Setting Wizard di Nokia
Kendro
Hendra, pria kelahiran Palembang, 31 Desember 1955, orang Indonesia
yang mampu menciptakan aplikasi peranti bergerak yang memungkinkan
sebuah ponsel lebih bermakna dan bergaya. Sarjana Ilmu Komputer dari
University of Manitoba, Kanada, ini telah mencipta puluhan aplikasi
peranti lunak untuk membuat ponsel memiliki kelebihan.
Jika sulit membayangkan aplikasi peranti lunak, bayangkan seseorang yang
menciptakan permainan (games) yang ditanamkan pada ponsel. Ponsel itu
pun akan memiliki fitur lebih dibandingkan ponsel lainnya.
Apa yang Kendro ciptakan bukan sekadar dolanan, tetapi sebuah aplikasi
yang memungkinkan ponsel memiliki tingkat keamanan tinggi, meski dicuri
orang. Mungkin harga sebuah Nokia communicator sebagai devices "tidak
seberapa" dibandingkan data-data yang tersimpan di dalamnya, entah teks,
foto, atau video. Jika data rahasia turut lenyap seiring hilangnya
ponsel, maka celakalah. Kendro menciptakan hal-hal kecil yang tidak
banyak dipikirkan orang, tetapi bermanfaat bagi banyak orang.
"Salah satu peranti yang saya ciptakan untuk menyelamatkan data yang
hilang itu bernama AirGuard, yang sudah ditanamkan di ponsel
communicator Nokia. Saya bisa menghubungi pencuri telepon, meski dia
sudah mengganti simcard-nya dengan nomor lain," kata Kendro saat ditemui
di arena Nokia World 2007 di Amsterdam, Belanda, 5 Desember lalu.
Sebagai mitra, Kendro yang membangun perusahaan InTouch itu hadir atas
undangan Nokia.
InTouch adalah satu dari sedikit perusahaan komunikasi dan informasi
Indonesia dengan reputasi internasional. Kantor pemasaran perusahaan
yang didirikan tahun 1996 itu berada di Singapura. Di Indonesia, InTouch
mempekerjakan sekitar 60 karyawan yang setiap hari berkutat menciptakan
peranti lunak.
Lisensi peranti lunak yang memiliki kata depan "Air" selain AirGuard
tersebut antara lain AirAlbum, AirFax, AirRadio, dan AirVouchers.
Tetapi, aplikasi paling luas dan banyak digunakan adalah SettingsWizard
dan S80-DataMover yang dilisensi Nokia secara global untuk dimasukkan
dalam setiap ponsel Symbian S60 Nokia. Kini, temuan Kendro itu
diterjemahkan ke dalam 127 bahasa.
SettingsWizard adalah peranti lunak yang ditanamkan di ponsel Nokia, di
mana saat pemilik ponsel memasukkan simcard dari operator seluler mana
pun, ponsel itu otomatis bisa men-setting sendiri, baik SMS, MMS,
e-mail, maupun GPRS, sehingga tidak harus diketik ulang. Demikian juga
S80-DataMover yang memungkinkan pemindahan data secara otomatis dari
satu ponsel ke ponsel lain atau dari satu communicator ke communicator
lain, juga tanpa harus mengetik ulang.
"Banyak orang enggak percaya bahwa itu aplikasi buatan orang Indonesia.
Dengan aplikasi yang diterjemahkan ke dalam 127 bahasa, menunjukkan
orang Indonesia punya kemampuan," kata Kendro yang mempekerjakan dua
orang Singapura sebagai tenaga pemasaran global bagi produk-produk
InTouch.
Membangun perusahaan
Dilahirkan di Palembang tahun 1955, Kendro yang kini lebih sering mukim
di Singapura itu bukan orang kemarin sore yang serta-merta akrab dengan
dunia informasi dan teknologi (IT). Bidang ini, khususnya sebagai
pengembang aplikasi bergerak atau mobile application developer, sudah ia
geluti saat kuliah jurusan ilmu komputer di Kanada selepas menamatkan
sekolah menengah atas di tanah kelahirannya.
Seusai menyelesaikan masternya di Kanada, ia langsung kembali ke
Indonesia tahun 1981. Sampai saat ini Kendro sudah berhasil menciptakan
sekitar 30 peranti lunak yang semuanya khusus untuk aplikasi bergerak.
Pria yang menikahi Linda Widjaja, teman kuliahnya di Kanada, itu memulai
usaha dengan mendirikan perusahaan InMac, yakni distributor Apple
Macintosh. Pada awal 1990-an Kendro mulai terjun pada aplikasi bergerak
setelah Apple mengeluarkan PDA (personal data assistant) pertama bernama
Newton. Tahun 1996 Nokia mengeluarkan communicator 9000 pertamanya.
Nokia cabang Indonesia kemudian menawarinya kerja sama dalam hal peranti
lunak apa saja yang bisa disuntikkan ke dalam communicator. Pada
Februari 1999, saat Kendro ditawari kerja sama dengan Nokia Asia
Pasifik, ia membangun perusahaan di Singapura karena wilayah operasinya
regional, tetapi pengembangan tetap dilakukan di Indonesia.
Mengapa harus membuka kantor di Singapura?
"Jujur saja, Pemerintah Singapura memberikan insentif yang baik. Badan
penanaman modal Singapura juga sangat mendukung dengan memberikan
insentif, grand, tax holiday, dan subsidi lain yang sangat menguntungkan
buat orang berusaha," kata Kendro.
Ditanya apakah banyak orang Indonesia yang berpikiran maju di bidang IT, ayah tiga anak ini tanpa ragu menjawab, "Banyak."
Kemampuan IT anak-anak muda Indonesia, kata Kendro, tidak kalah dengan
orang-orang India. Hanya kalau bicara outsourcing IT itu, selalu merujuk
ke Bangalore, India, salah satunya karena anak-anak muda India unggul
dalam berbahasa Inggris. Karena itu, mereka lebih cepat menyerap ilmu
dan tanggap terhadap tren baru.
"Selain menguasai bahasa programming, anak-anak muda Indonesia wajib
menguasai bahasa Inggris. Punya bakat besar di bidang IT tetapi
terkendala bahasa Inggris, kan sayang kalau larinya cuma jadi tukang
hacker," tutur Kendro.
Pria berkacamata ini tidak berhenti mencipta peranti baru. Kini ia
mengembangkan Mobile Reward Exchange (MORE) sebagai "mata uang baru"
dalam berbisnis. Alat bayar baru dari kumpulan reward (bonus/diskon)
beberapa perusahaan dapat ditukar dengan barang apa pun yang menjadi
mitranya. Kelak, orang membayar burger dari reward pembelian buku di
Toko Buku Gramedia, misalnya, hanya dengan menunjukkan jumlah reward
kepada kasir cukup dari ponselnya.
13. Prof Dr. Ing BJ Habibie - Pemegang 46 Paten di bidang Aeronautika
Prof. Dr.-Ing. Dr. Sc. H.C. Mult. Bacharuddin Jusuf Habibie lahir
tanggal 25 Juni 1936 di Parepare, Sulawesi Selatan Indonesia. Anak ke
empat dari delapan bersaudara dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan
R.A. Tuti Marini Puspowardoyo. Dia hanya satu tahun kuliah di Institut
Teknologi Bandung (ITB) karena pada tahun 1955 dia dikirim oleh ibunya
belajar di Rheinisch Westfalische Technische Honuchscule, Aschen Jerman.
Setelah menyelesaikan kuliahnya dengan tekun selama lima tahun, B.J.
Habibie memperoleh gelar Insinyur Diploma dengan predikat Cum Laude di
Fakultas Teknik Mekanik Bidang Desain dan Konstruksi Pesawat Udara.
Pemuda Habibie adalah seorang muslim yang sangat alim yang selalu
berpuasa Senin dan Kamis. Kejeniusannya membawanya memperoleh Gelar
Doktor Insinyiur di Fakultas Teknik Mekanik Bidang Desain dan Konstruksi
Pesawat Udara dengan predikat Cum Laude tahun 1965.
B.J. Habibie memulai kariernya di Jerman sebagai Kepala Riset dan
Pembangunan Analisa Struktur Hamburger Flugzeugbau Gmbh, Hamburg Jerman
(1965-1969). Kepala Metode dan Teknologi Divisi Pesawat Terbang
Komersial dan Militer MBB Gmbh, Hamburg dan Munchen (1969-1973). Wakil
Presiden dan Direktur Teknologi MBB Gmbh Hambur dan Munchen (1973-1978),
penasehat teknologi senior untuk Direktur MBB bidang luar negeri
(1978). Pada tahun 1977 dia menyampaikan orasi jabatan guru besarnya
tentang konstruksi pesawat terbang di ITB Bandung.
Tergugah untuk melayani pembangunan bangsa, tahun 1974 B.J. Habibie
kembali ke tanah air, ketika Presiden Soeharto memintanya untuk kembali.
Dia memulai kariernya di tanah air sebagai Penasehat Pemerintah
Indonesia pada bidang teknologi tinggi dan teknologi pesawat terbang
yang langsung direspon oleh Presiden Republik Indonesia (1974-1978).
Pada tahun 1978 dia diangkat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi
merangkap sebagai kepala BPPT. Dia memegang jabatan ini selama lima kali
berturut-turut dalam kabinet pembangunan hingga tahun 1998.
Sebelum masyarakat Indonesia menggelar pemilihan umum tahun 1997,
Habibie menyampaikan kepada keluarga dan kerabatnya secara terbatas
bahwa dia merencanakan berhenti dari jabatan selaku menteri setelah
Kabinet Pembangunan Enam berakhir. Namun, manusia merencanakan Tuhan
yang menentukan. Tanggal 11 Maret 1998, MPR memilih dan mengangkat B.J.
Habibie sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia ketujuh.
Pada saat bersamaan, krisis ekonomi melanda kawasan Asia Tenggara
termasuk Indonesia, dan hal itu segera berdampak pada krisis politik dan
krisis kepercayaan. Kriris berubah menjadi serius dan masyarakat mulai
menuntut perubahan dan akhirnya tanggal 21 Mei 1998, Presiden Soeharto
mengumumkan pengunduran dirinya. Sesuai pasal 8 UUD 1945, pada hari yang
sama, sebelum itu, B.J. Habibie diambil sumpah jabatannya sebagai
Presiden oleh Ketua Mahkamah Agung RI.
Presiden B.J. Habibie memegang jabatan presiden selama 518 hari dan
selama masa itu, dibawah kepemimpinannya Indonesia tidak hanya sukses
menyelenggarakan pemilihan umum yang jujur dan adil pertama kali tanggal
7 Juni 1999, tetapi juga sukses membawa perubahan yang signifikan
terhadap stabilitas, demokratis dan reformasi.
Prof. B.J. Habibie mempunyai medali dan tanda jasa nasional dan
internasional, termasuk ‘Grand Officer De La Legium D’Honour, hadiah
tertinggi dari Pemerintah Perancis atas konstribusinya dan pembangunan
industri di Indonesia pada tahun 1997; ‘Das Grosskreuz’ medali tertinggi
atas konstribusinya dalam hubungan Jerman-Indonesia tahun 1987; ‘Edward
Warner Award, pemberian dari Dewan Eksekutif Organisasi Penerbangan
Sipil Internasional (ICAO) pada tahun 1994; ‘Star of Honour ‘Lagran Cruz
de la Orden del Merito Civil dari Raja Spanyol tahun 1987. Dia juga
menerima gelar doktor kehormatan dari sejumlah universitas, seperti
Institut Teknologi Cranfield, Inggris; Universitas Chungbuk Korea dan
beberapa universitas lainnya.
Selama kariernya, dia memegang 47 posisi penting seperti Direktur
Presiden IPTN Bandung, Presiden Direktur PT PAL Surabaya, Presiden
Direktur PINDAD, Ketua Otorita Pembangunan Kawasan Industri Batam,
Kepala Direktur Industri Strategis (BPIS) dan Ketua ICMI. Sampai
sekarang, ia masih menjabat sebagai Presiden Forum Islam Internasional
dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan pengembangan SDM sejak
tahun 1977, Penyantun dan Ketua Habibie Centre untuk urusan luar negeri
sejak tahun 1999.
Dia juga anggota beberapa institusi non pemerintah internasional seperti
Dewan Gerakan Internasional sejak tahun 2002, sebuah LSM yang
beranggotakan kurang lebih 40 orang mantan presiden dan Perdana Menteri
dari beberapa negara. Dia juga anggota pendiri Perkumpulan Islam
Internasional Rabithah ‘Alam Islam sejak tahun 2001 yang bermarkas besar
di Mekkah, Saudi Arabia. Dari semua organisasi yang disebutkan sebagian
besar telah meminta Habbie menjadi salah satu pendiri Asosiasi Etika
Internasional, Politik dan Ilmu Pengetahuan yang telah berdiri pada
tanggal 6 Oktober tahun 2003 di Bled Slovenia yang anggotanya terdiri
dari negarawan dan ilmuwan dari sejumlah negara.
Aktivitas sebelumnya terlibat dalam proyek perancangan dan desain
pesawat terbang seperti Fokker 28, Kendaraan Militer Transall C-130,
CN-235, N-250 dan N-2130. Dia juga termasuk perancang dan desainer yang
jlimet Helikopter BO-105, Pesawat Tempur, beberapa missil dan proyek
satelit. Prof B.J Habibie mempublikasika
14. Joe-Hin Tjio - Sang Penemu 23 Kromosom dari Indonesia
Siapa sangka seorang ilmuwan dari Indonesia ternyata berperan penting
dalam perkembangan bioteknologi khususnya genetika. Dia bersama
koleganyalah yang menemukan dan memastikan bahwa kromosom manusia
berjumlah 23 pasang, padahal sebelumnya para ilmuwan meyakini bahwa
jumlah kromosom manusia adalah 24.
Kisahnya bermula tahun 1921, ada 3 orang yang datang kepada Theophilus
Painter meminta untuk dikebiri. Dua pria kulit hitam dan seorang pria
kulit putih itu merelakan ’senjata’ mereka dicopot berdasarkan
kepercayaan yang mereka anut. Painter yang orang Texas ini lantas
mengamati isi testis ketiga orang tadi, dia sayat tipis-tipis, lalu
diproses dengan larutan kimia, dan dia amati di bawah mikroskop.
Ternyata ia melihat ada serabut-serabut kusut yang merupakan kromosom
tak berpasangan pada sel testis. Hitungan dia saat itu ada 24 kromosom.
Dia sangat yakin, ada 24.
‘Keyakinan’ ini dikuatkan oleh ilmuwan lain yang mengamati dengan cara
berbeda, mereka pun mendapat hasil yang sama, 24 kromosom. Bahkan hingga
30 tahun ‘keyakinan’ ini bertahan. Begitu yakinnya para ilmuwan akan
hitungan ini sampai-sampai ada sekelompok ilmuwan meninggalkan
penelitian mereka tentang sel hati manusia karena mereka tidak menemukan
kromosom ‘ke-24′ dalam sel tersebut, mereka ‘hanya’ menemukan 23 saja.
Ilmuwan lain berhasil memisah-misahkan kromosom manusia dan
menghitungnya, jumlahnya? Tetap 24 pasang.
Barulah 34 tahun setelah ‘tragedi’ pengebirian oleh Painter, ilmuwan
menemukan cara untuk memastikan bahwa jumlah kromosom manusia hanya ada
23, bukan 24. Adalah Joe-Hin Tjio yang bermitra dengan Albert Levan di
Spanyol menemukan teknik yang lebih baik untuk mendapatkan jumlah 23
pasang kromosom manusia. Bahkan ketika mereka menghitung ulang gambar
eksperimen terdahulu yang menyebutkan bahwa jumlahnya ada 24, mereka
mendapati hanya ada 23. Benar-benar aneh, mata siapa yang bisa error
begini?
Dan memang kenyataan bahwa manusia hanya memiliki 23 pasang kromosom
dianggap aneh dan mengejutkan. Pasalnya, simpanse, orang utan dan
gorila, yang kandungan genetiknya mirip dengan manusia memiliki 24
pasang kromosom. Jadi kromosom manusia ini lain daripada bangsa ungka
(ape) yang lain. Dan usut punya usut, ternyata ada dua kromosom pada
gorila yang jika digabungkan ukurannya akan mirip dengan kromosom 2 pada
manusia. Sungguh ajaib memang, perbedaan yang ‘kecil’ ini ditambah
sedikit keragaman antara gen-gen manusia dan gorila, membuat
‘penampakan’ keduanya jauh berbeda.
Oh ya, kembali ke sang penemu 23 pasang kromosom pada manusia, salah satunya, yaitu Joe-Hin Tjio, adalah orang Indonesia.
Sekilas Joe-Hin Tjio
Seperti ditulis dalam Encyclopædia Britannica, Tjio (diucapkan CHEE-oh)
lahir di Jawa tanggal 2 November 1919. Tjio kecil bersekolah di sekolah
penjajah Belanda, kemudian dia sempat mendalami fotografi mengikuti
jejak ayahnya yang juga seorang fotografer profesional. Namun
selanjutnya Tjio memutar stir ke bidang pertanian dengan kuliah di
Sekolah Ilmu Pertanian di Bogor, waktu itu Tjio berusaha mengembangkan
tanaman hibrida yang tahan terhadap penyakit. Dari sinilah pondasi ilmu
genetika membawanya menjadi seorang ahli genetik terkemuka kelak.
Sempat dipenjara selama tiga tahun saat masa pendudukan Jepang, Tjio
melanjutkan pendidikannya ke Belanda melalui program beasiswa. Ia
melanjutkan kembali studinya mengenai cy****netik tanaman dan serangga
hingga menjadi ahli dalam bidang tersebut. Kemudian Tjio menghabiskan
waktu 11 tahun di Zaragoza setelah pemerintah Spanyol mengundangnya
untuk melakukan studi dalam program peningkatan mutu tanaman. Di
sela-sela liburannya, Tjio pun nyambi riset di Institute of Genetics di
Lund Swedia dan tertarik untuk meneliti jaringan sel mamalia. Di sinilah
penemuannya yang menghebohkan itu ia lakukan. Pada tahun 1955, Tjio
menggunakan suatu teknik yang baru ditemukan untuk memisahkan kromosom
dari inti (nukleus) sel, ia merupakan salah satu peletak pondasi
cy****netik modern –ilmu yang mempelajari hubungan antara struktur dan
aktifitas kromosom serta mekanisme hereditas– sebagai sebuah cabang
utama ilmu genetika. Penelitiannya yang lain pada tahun 1959 membawa
pada penemuan bahwa orang-orang yang terkena Down Syndrome memiliki
tambahan kromosom dalam sel-sel mereka.
Ada cerita menarik di balik penemuan jumlah 23 pasang kromosom ini,
selain memang hasil penelitiannya yang menghebohkan, Tjio pun melakukan
tindakan yang cukup menggemparkan dunia riset Eropa karena ia menolak
untuk mencantumkan Albert Levan (kepala Institute of Genetics tempat
risetnya dilakukan) sebagai Author utama dalam jurnal yang diterbitkan
dalam Scandinavian Journal Hereditas tahun 1956 itu, padahal itu sesuatu
yang ‘wajib’ sesuai konvensi Eropa yang telah berlangsung lama. Tjio
bahkan mengancam akan membuang pekerjaannya itu jika Tjio tidak
dicantumkan sebagai Author utama. Akhirnya, mengingat ini adalah
penemuan besar, Levan mengalah dan dia dicantumkan hanya sebagai
co-author.
Di sisa 37 tahun terakhir karirnya, Tjio bekerja di NIH (National
Institute of Health) Washington. Di sana Tjio mengkompilasi
koleksi-koleksi foto-foto ilmiah yang mendokumentasikan
penelitian-penelitiannya yang luar biasa. Ternyata bakat fotografi
terpendamnya tersalurkan juga di NIH. Prestasi Tjio pun tak bisa
dipandang remeh, bahkan sangat membanggakan, terbukti dengan anugerah
Outstanding Achievement Award dari Presiden Kennedy tahun 1962.
Tjio tutup usia tanggal 27 November 2001, 25 hari setelah ultahnya yang
ke 82 di Gaithersburg, Maryland, Amerika. Kita boleh berbangga sekaligus
prihatin, bangga karena ilmuwan kelahiran Indonesia mampu memberi
sumbangsih besar untuk ilmu pengetahuan, tapi juga prihatin karena di
negeri kita ‘belum’ menjadi tempat bagi ilmuwan luar biasa. Banyak
potensi besar orang-orang cerdas yang kurang diperhatikan, sehingga
mereka ‘dibajak’ oleh negara-negara lain yang sudah maju dan mau
menghargai kehebatan mereka, bahkan sejak mereka masih sangat muda.
Tentu sayang jika orang hebat seperti Joe-Hin Tjio yang lahir di Jawa
pada akhirnya dikenal sebagai ahli genetik Amerika.
15. DR. AZHARI SASTRANEGARA - AHLI BENTURAN DARI MAJENE
Lelaki itu selalu memulai dengan sederhana: bersepeda menuju kantornya,
NSK Ltd. Setiap hari, sepanjang tahun, dia mengayuh sepeda selama 15
menit dari rumahnya di House Malonie Nomor 2, Fujisawa-shi, Kanagawa,
Jepang Sekilas dia adalah pria kampung Jepang biasa. Nyaris tak ada yang
tahu bahwa dia pria penting. Dia adalah salah satu ahli top di Jepang
dalam bidang analisis keamanan struktur terhadap benturan.
Di kantornya itu, design engineer berusia 33 tahun ini selalu
menghabiskan sebagian harinya di Automotive Bearing Technology
Department. “Pulang kantor pukul 18.00, kalau lagi lembur pukul 20.00,”
ujar Azhari kepada Tempo melalui surat elektronik pekan lalu.
Doctor of engineering dari Tokyo Institute of Technology, Jepang, itu
bergabung dengan produsen bearing dan komponen otomotif tersebut sejak
April 2005. Awalnya ia berkarier sebagai research engineer di NSK
Research and Development Center. “Tema penelitian saya cukup beragam,
berkisar pada analisis struktur dan bahan terhadap benturan,” ujar
Azhari.
Salah satu riset pria kelahiran Majene, Sulawesi Barat, itu adalah
tentang desain kemudi kendaraan yang aman. Dalam penelitian itu,
tugasnya melakukan perhitungan apakah rancangan kemudi yang diajukan
oleh bagian desain sudah memenuhi syarat keamanan ketika terjadi
tabrakan. Dari aneka penelitian itu, Azhari dan timnya di NSK
menghasilkan enam paten yang kini terdaftar di Japan Patent Office.
NSK ternyata juga bukan tempat kerja pertamanya. Sebelumnya, Azhari—yang
meraih gelar doktor dengan disertasi berjudul “Effect of Transverse
Impact on Energy Absorption of Column”—sempat menjadi asisten dosen di
Tokyo Institute of Technology. Di kampus itu pula Azhari merampungkan
pendidikan dari S-1 sampai S-3 (Ph.D).
Dia belajar di kampus itu setelah lulus dari SMA Taruna Nusantara,
Magelang, Jawa Tengah, pada 1994. Modalnya: beasiswa Mitsui Bussan
Indonesia Scholarship, yang menyeleksi peserta dari pelajar SMA se-Jawa
dan Bali. Beasiswa itu cuma untuk menyelesaikan sarjana strata satu.
Jadi, saat melanjutkan ke strata dua, “Saya kuliah sambil bekerja paruh
waktu,” ujarnya. Pada program S-3 (Ph.D), ia kembali mendapatkan
beasiswa—kali ini dari Moritani Scholarship dan Tsuji Asia Scholarship.
Setelah memperoleh gelar doktor/Ph.D, Azhari sempat ingin kembali ke
Tanah Air. Namun, ia tak mendapatkan tempat untuk mengaplikasikan
pengetahuan yang dimilikinya. “Jaringan kerja saya juga belum ada,”
ujarnya. Dia pun memutuskan menimba ilmu di perusahaan Jepang, yang
muatan penelitiannya banyak. Untuk ikut memajukan Indonesia, ia punya
cara lain.
16. Dr Nurul Taufiqu Rochman, MEng - MENDANAI RISET DARI BISNIS SERABUTAN
Demi menambal biaya penelitian, para ilmuwan kita di sini harus jungkir balik. Ada yang patungan menyewakan lapangan futsal.
Berbongkah batu alam tergeletak di dalam kardus di ruangan yang tak
terlalu luas itu. Serbuk silika berwarna kuning, pasir besi, beberapa
alat pemotong besi, dan pemisah magnet tampak berserakan di lantai
berlapis kayu.
“Beginilah kalau sedang bekerja, berantakan,” ujar Dr Nurul Taufiqu
Rochman, MEng, Jumat malam lalu. Di ruang berukuran 5 x 8 meter itulah
peneliti fisika di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Puspiptek
Serpong, Tangerang, ini melakukan riset teknologi nano.
Ruangan yang terletak di lantai dua Pusat Penelitian Fisika LIPI itu
nyaris seperti kapal pecah. Sejumlah diktat dan proposal berserakan di
atas meja. Beberapa unit komputer serta alat-alat eksperimen rakitan
Nurul dan delapan stafnya juga belum dibereskan.
Malam itu, pria lulusan Kagoshima University, Jepang, ini menunjukkan
kehebatan pemisah magnet temuannya. Nurul tak perlu terbang jauh ke luar
negeri untuk membeli komponen alat itu karena tersedia di Glodok,
Jakarta Barat. Nurul memasukkan sejumput pasir besi ke alat tersebut.
Setelah diputar, pasir yang mengandung besi oksida turun dan yang tak
mengandung besi oksida menempel pada lempengan karet yang melengkung ke
bawah.
Dari serbuk pasir yang telah dinanokan itu bisa dibentuk batangan besi
dan tabung besi. Menurut Nurul, pasir besi sangat mudah dicari. “Sekilo
paling cuma Rp 250. Kalau sudah dinanokan, bisa mencapai Rp 1 juta. Ini
peluang bisnis untuk mengolah kekayaan alam Indonesia,” ujarnya.
Teknologi nano yang sederhana dan pengolahan yang tak rumit membuat
pasir besi selanjutnya bisa diolah menjadi tinta printer seharga Rp 250
ribu. Kekayaan alam Indonesia yang melimpah itulah yang membuat Nurul
pulang kampung setelah 15 tahun kuliah dan bekerja di Negeri Sakura.
Pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 5 Agustus 1970, itu menyelesaikan S1
sampai S3 teknik mesin di Kagoshima University atas biaya Habibie
Center.
“Saya gemes banget. Apa yang mungkin orang lain tidak lakukan, saya bisa
kerjakan. Makanya saya ingin di bengkel ini mestinya juga lahir Apollo
berteknologi nano,” katanya seraya menunjuk sejumlah mesin.
Peraih Ganesha Widya Jasa Adiutama Award dari Institut Teknologi Bandung
pada 2009 itu bersemangat menciptakan alat-alat baru berteknologi nano
yang belum ada di dunia dari kekayaan alam Indonesia.
“Di tangan saya dan tim, alat semacam ini harganya cuma Rp 5 sampai Rp
20 juta.” ujar Nurul sembari memperlihatkan milling gerak elips 3
dimensi yang difungsikan sebagai penghancur partikel nano.
17. FAUZY AMMARI - JEJAK TERNATE DI JALAN SUTRA UZBEKISTAN
Sudah hampir 10 bulan Fauzy Ammari bergelut di Jalan Sutra. Di jalur
utama perdagangan dunia yang menghubungkan Asia, Eropa, dan Afrika 3.000
tahun silam itulah, karier emas Fauzy kini dipertaruhkan. Lelaki
kelahiran Ternate, Maluku Utara, 42 tahun silam ini dipercaya menjadi
salah seorang konsultan dalam proyek pembangunan jalan di salah satu
bagian rute kuno itu di wilayah Uzbekistan.
Proyek prestisius yang dinamakan Proyek Jalan Sutra atawa Silk Road ini
membentang 131 kilometer sepanjang rute Guzar-Bukhara- Nukus-Dautata.
Pemerintah Presiden Islam Karimov mengucurkan sedikitnya US$ 270 juta
atau Rp 2,7 triliun, yang dipinjamnya dari Bank Pembangunan Asia (ADB).
Dalam
proyek tersebut, Fauzy duduk sebagai penasihat internasional untuk
bidang infrastruktur transportasi. Tanggung jawabnya menangani
proyek-proyek fasilitas umum dan penyediaan alat-alat berat. Tak
tanggung-tanggung, ia pun diminta membentuk departemen transportasi,
departemen baru di Uzbekistan.
“Bisnis jalan” sesungguhnya tak jauh-jauh dari awal karier Fauzi. Ketika
masih duduk di bangku SMP di Ternate, ia sudah diperkenalkan dengan
manajemen bisnis transportasi. Saat itu ia bahkan dipercaya mengelola
sebuah mobil angkutan kota milik keluarganya.
Segala tetek-bengek bisnis angkutan menjadi tanggung jawabnya. Mulai
teknik mencari penumpang, melayani penumpang, sampai merawat si angkot
semata wayang, yang dilakoninya hingga tamat SMA.
Berpuluh tahun kemudian, ribuan mil dari tanah kelahirannya, Fauzy
merasakan manfaat dari pendidikan manajemen bisnisnya itu. Mengatur
strategi pemenangan proyek, mengelola tim kerja, hingga mengatur rencana
kerja seolah hanya mengulang pekerjaan masa kecilnya.
Bedanya, dulu ia hanya mengurus satu mobil, kini ia bertanggung jawab
membangun salah satu ruas jalan di Uzbekistan. Jiwa bisnis Fauzy mulai
terasah manakala sang ayah, seorang penjual pakaian dan sepatu, mangkat.
Saat itu usia Fauzy baru delapan tahun.
18. Profesor Dr. Ken Kawan Soetanto - Peraih Empat Gelar Doktor dan Juga Peraih 31 Paten di Jepang
Prestasi membanggakan ditorehkan Profesor Dr. Ken Kawan Soetanto. Pria
kelahiran Surabaya ini berhasil menggondol gelar profesor dan empat
doktor dari sejumlah universitas di Jepang. Lebih hebatnya, puncak
penghargaan akademis itu dicapainya pada usia 37 tahun.
Sepintas,
penampilan fisiknya nyaris tak berbeda jika dibandingkan dengan
kebanyakan orang Jepang. Kulitnya kuning. Rambut lurusnya, disisir rapi.
Kemejanya yang diseterika licin dipadu jas menunjukkan dia menyukai
formalitas. Tapi, begitu berbicara, akan terkesan bahwa Prof Soetanto
-demikian dia dipanggil- bukan orang Jepang. Bicaranya ceplas-ceplos
dengan logat suroboyoan-nya yang khas.
Penemu
konsep pendidikan tinggi "Soetanto Effect" di Negeri Sakura itu
beberapa hari ini berkunjung ke Indonesia. Soetanto mendampingi sejumlah
koleganya, Dr Kotaro Hirasawa (dekan Graduate School Information
Production & System Waseda University) dan Yukio Kato (general
manager of Waseda University), menandatangani memorandum of
understanding (MoU) antara Waseda University dan President University,
Jababeka Education Park, Cikarang, Jawa Barat, Sabtu lalu.
Waseda University adalah perguruan tinggi swasta terbesar di Jepang.
Reputasinya setara dengan universitas negeri semisal Tokyo University,
Kyoto University, atau Nagoya University. Mahasiswa yang berguru di
Waseda University 51.499 orang. Di anatar jumlah itu, 1.234 orang
berasal dari luar Jepang.
Waseda University telah menganugerahkan 81 gelar kehormatan bagi
pemimpin negara, mulai mantan PM India Jawaharlal Nehru (1957) hingga
mantan PM Singapura Lee Kuan Yew (2003). Dari Indonesia, Ketua DPD
Ginandjar Kartasasmita juga pernah belajar di sini.
President University adalah institusi perguruan tinggi berbasis
kurikulum bertaraf internasional yang berlokasi di tengah-tengah sekitar
1.040 perusahaan di Kawasan Industri Jababeka, Cikarang. Selain putra
berbaik dari Indonesia, para mahasiswa President University berasal dari
China dan Vietnam.
Kehadiran Soetanto tak begitu menyita perhatian publik. Maklum, wakil
dekan Waseda University tersebut hanya "sebentar" memberikan ceramah
populernya di hadapan ratusan mahasiswa dan civitas academica President
University. Dia tak sempat berbagi keilmuan dengan sesama akademisi
seperti UI, UGM, ITB, dan Unair. Sebuah kesempatan yang agak disesalkan
bagi orang dengan kemampuan akademik sekaliber Soetanto.
Prestasi akademik Soetanto bisa dibilang di atas rata-rata. Misalnya,
pada 1988-1993, dia tercatat sebagai direktur Clinical Education and
Science Research Institute (CERSI) merangkap associate professor di
Drexel University dan School Medicine at Thomas Jefferson University,
Philadelphia, AS.
Dia juga pernah tercatat sebagai profesor di Biomedical Engineering,
Program University of Yokohama (TUY). Selain itu, pria kelahiran 1951
tersebut saat ini masih terdaftar sebagai prosefor di almameternya,
School of International Liberal Studies (SILS) Waseda University, serta
profesor tamu di Venice International University, Italia.
Otak arek Suroboyo itu memang brilian. Dia berhasil menggabungkan empat
disiplin ilmu berbeda. Hal tersebut terungkap dari empat gelar doktor
yang diperolehnya. Yakni, bidang applied electronic engineering di Tokyo
Institute of Technology, medical science dari Tohoku University, dan
pharmacy science di Science University of Tokyo. Yang terakhir adalah
doktor bidang ilmu pendidikan di almamater sekaligus tempatnya mengajar,
Waseda University.
"Saya sungguh menikmati pekerjaan sebagai akademisi," kata Soetanto di
sela kesibukannya menyaksikan MoU Waseda University dan President
University.
Di luar status kehormatan akademik tersebut, dia masuk birokrasi di
Negeri Sakura. Pria yang pernah berkawan dengan mantan Presiden RI B.J.
Habibie itu tercatat sebagai komite pengawas (supervisor committee) di
METI (Ministry of Economy, Trade, and Industry atau semacam Menko
Perekonomian di RI).
Selain itu, dia ikut membidani konsep masa depan Jepang dengan terlibat
di Japanese Government 21st Century Vision. "Pada jabatan tersebut, saya
berpartisipasi langsung menyusun GBHN (kebijakan makro)-nya Jepang,"
ungkap Soetanto yang masih fasih berbahasa Indonesia dan Jawa itu. Buah
pemikiran Soetanto terkenal lewat konsep pendidikan "Soetanto Effect"
dan 31 paten internasional yang tercatat resmi di pemerintah Jepang.
Inovasi yang dipatenkan itu mayoritas berlatar bidang keilmuannya, mulai
elektronika engineering, teknologi informasi, penemuan pengobatan
kanker, dan teknik imaging serta bidang farmasi.
Mau tahu berapa dana yang diraih Soetanto untuk membiayai
riset-risetnya? Jumlahnya sangat mencengangkan untuk ukuran akademikus
bergelar profesor atau mereka yang pernah menduduki jabatan tertinggi di
perguruan tinggi (rektor). Kementerian Pendidikan Jepang mendanai
Soetanto sampai USD 15 juta per tahun.
Di antara segudang prestasi itu, bisa jadi yang paling membanggakan,
khususnya bagi warga Surabaya, adalah latar belakang sekolah dasar dan
menengahnya yang ternyata dihabiskan di kota buaya. Soetanto muda
mengenyam pendidikan SD swasta di Kapasari, SMP Baliwerti, dan SMA
Budiluhur yang dulu menjadi jujugan sekolah warga keturunan Tionghoa.
Toh, Soetanto mengaku belum puas. Obsesi terpendamnya adalah bagaimana
karya akademisnya bisa dinikmati orang lain. "Saya berbahagia bila bisa
menyenangkan orang lain," katanya mengungkap visi hidupnya.
Soetanto sempat memberikan buah pemikirannya di hadapan ratusan
mahasiswa President University. Isi ceramah akademisnya menarik
perhatian mahasiswa. Bahkan, beberapa jajaran direksi PT Jababeka,
termasuk Dirut PT Jababeka Setyono Djuandi Darmono. Maklum, Soetanto
membeberkan pengalamannya bisa ’menaklukkan’ dunia perguruan tinggi
Jepang kendati hingga sekarang masih berkewarganegaraan Indonesia.
Selebihnya, Soetanto banyak mengkritisi sistem pendidikan di Indonesia
yang perlu dirombak lagi agar lulusannya lebih berkualitas. "Sistem
pendidikan di sini (Indonesia) sudah tertinggal jauh", jelas Soetanto
dengan gaya bicara berapi-api.
Ironisnya, penghargaan terhadap staf pengajar atau guru di Indonesia
juga sangat kurang. Soetanto lantas mencontohkan kecilnya gaji guru yang
memaksa mereka harus bekerja sambilan. "Karena faktor tersebut, jangan
heran bila banyak ilmuwan Indonesia mencari penghasilan di luar negeri,"
pungkas Soetanto