Hukum pernikahan wanita yang hamil diluar nikah Dalam Islam –
pernikahan wanita yang hami diluar nikah itu tergantung kondisi sbb:
[spoiler=isi]1. Kasus pertama
Seorang wanita hamil di luar nikah yang syar’i (berzina), lalu untuk menutupi rasa malu, keluarganya menikahkannya dengan orang lain. Yaitu laki-laki lain yang tidak menzinainya.
Dalam hal ini, para ulama mengharamkan terjadinya hubungan seksual antara mereka. Adapun apakah boleh terjadi pernikahan saja, tanpa hubungan seksual, ada dua pendapat yang berkembang.
Pendapat pertama, hukumnya haram. Dan kalau dinikahkan juga, maka pernikahan itu tidak sah alias batil. Di antara para ulama yang mengatakan hal ini adalah Al-Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal dan jumhur ulama.
Karena yang namanya suami isteri tidak mungkin diharamkan dalam melakukan hubungan seksual. Jadi menikah saja pun diharamkan, kecuali setelah anak dalam kandungan itu lahir.
Pendapat kedua, hukumnya halal dan pernikahan itu sah. Asalkan selama anak itu belum lahir, suami itu tetap tidak melakukan hubungan seksual dengannnya. Suami harus menunggu hingga lahirnya bayi dalam perut. Baik dalam keadaan hidup atau mati.Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i dan Imam Abu Hanifah.
Perbedaan pendapat para ulama ini berangkat dari satu dalil yang dipahami berbeda. Dalil itu adalah dalil tentang haramnya seorang laki-laki menyirami ladang laki-laki lain.
Dari Rufai’ bin Tsabit bahwa Nabi SAW bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyiramkan airnya pada tempat yang sudah disirami orang lain.” (HR Tirmizi dan beliau menghasankannya)
Jumhur ulama yang mengharamkan pernikahan antara mereka mengatakan bahwa haramnya ‘menyirami air orang lain’ adalah haram melakukan akad nikah. Sedangkan As-Syafi’i dan Abu Hanifah mengatakan bahwa yang haram adalah melakukan persetubuhannya saja, ada pun melakukan akad nikah tanpa persetubuhan tidak dilarang, karena tidak ada nash yang melarang.
2.. Kasus Kedua
Seorang wanita belum menikah, lalu berzina hingga hamil. Kemudian untuk menutupi rasa malunya, dia menikah dengan laki-laki yang menzinainya itu. Dalam hal ini para ulama sepakat membolehkannya. Karena memang tidak ada larangan atau pelanggaran yang dikhawatirkan. Setidaknya, Al-Imam Asy-syafi’i dan Abu Hanifah membolehkannya. Bahkan mereka dibolehkan melakukan hubungan seksual selama masa kehamilan, asalkan sudah terjadi pernikahan yang syar’i antara mereka.
Karena illat (titik point) larangan hal itu adalah tercampurnya mani atau janin dari seseorang dengan mani orang lain dalam satu rahim yang sama. Ketika kemungkinan itu tidak ada, karena yang menikahi adalah laki-laki yang sama, meski dalam bentuk zina, maka larangan itu pun menjadi tidak berlaku.
Seringkali ada orang yang tetap mengharamkan bentuk keempat ini, mungkin karena agak rancu dalam memahami keadaan serta titik pangkal keharamannya.
Pendeknya, kalau wanita hamil menikah dengan laki-laki yang menzinainya, maka tidak ada dalil atau illat yang melarangnya. Sehingga hukumnya boleh dan sesungguhnya tidak perlu lagi untuk menikah ulang setelah melahirkan. Karena pernikahan antara mereka sudah sah di sisi Allah SWT.
Bahkan selama masa kehamilan itu, mereka tetap diperbolehkan untuk melakukan hubungan suami isteri. Jadi mengapa harus diulang?
untuk contoh nya mungkin ini bisa jadi acuan
Itsar Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu anhu:
Berkata Ibnu Umar: Ketika Abu Bakar sedang berada di masjid tiba-tiba datang seorang laki-laki, lalu Abu Bakar berkata kepada Umar, “Berdirilah dan perhatikan urusannya karena sesungguhnya dia ada urusan penting.” lalu umar berdiri menghampirinya,lalu laki-laki itu mengatakan: “Sesungguhnya aku kedatangan seorang tamu lalu dia berzina dengan anak perempuanku?” Umar memukul dada orang tersebut dan berkata, “semoga Allah memburukkanmu! Tidakkah engkau tutup saja (rahasia zina) atas anak perempuanmu!” lalu Abu Bakar memrintahkan agar dilaksanakan hukum had (dera 100 x) terhadap keduanya. Kemudian beliau menikahkan keduanya, lalu beliau memerintahkan agar keduanya diasingkan selama setahun. (riwayat. Ibnu Hazm, Muhalla j 9 h.476; Baihaqi, Sunanul Kubro j.8 h.223)
Baihaqi meriwayatkan dari jalan lain, bahwa wanita itu dinikahkan dalam keadaan hamil.[/spoiler]
SUMBER http://apaantuh.com/2014/10/11/hukum...h-dalam-islam/
[spoiler=isi]1. Kasus pertama
Seorang wanita hamil di luar nikah yang syar’i (berzina), lalu untuk menutupi rasa malu, keluarganya menikahkannya dengan orang lain. Yaitu laki-laki lain yang tidak menzinainya.
Dalam hal ini, para ulama mengharamkan terjadinya hubungan seksual antara mereka. Adapun apakah boleh terjadi pernikahan saja, tanpa hubungan seksual, ada dua pendapat yang berkembang.
Pendapat pertama, hukumnya haram. Dan kalau dinikahkan juga, maka pernikahan itu tidak sah alias batil. Di antara para ulama yang mengatakan hal ini adalah Al-Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal dan jumhur ulama.
Karena yang namanya suami isteri tidak mungkin diharamkan dalam melakukan hubungan seksual. Jadi menikah saja pun diharamkan, kecuali setelah anak dalam kandungan itu lahir.
Pendapat kedua, hukumnya halal dan pernikahan itu sah. Asalkan selama anak itu belum lahir, suami itu tetap tidak melakukan hubungan seksual dengannnya. Suami harus menunggu hingga lahirnya bayi dalam perut. Baik dalam keadaan hidup atau mati.Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i dan Imam Abu Hanifah.
Perbedaan pendapat para ulama ini berangkat dari satu dalil yang dipahami berbeda. Dalil itu adalah dalil tentang haramnya seorang laki-laki menyirami ladang laki-laki lain.
Dari Rufai’ bin Tsabit bahwa Nabi SAW bersabda, “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyiramkan airnya pada tempat yang sudah disirami orang lain.” (HR Tirmizi dan beliau menghasankannya)
Jumhur ulama yang mengharamkan pernikahan antara mereka mengatakan bahwa haramnya ‘menyirami air orang lain’ adalah haram melakukan akad nikah. Sedangkan As-Syafi’i dan Abu Hanifah mengatakan bahwa yang haram adalah melakukan persetubuhannya saja, ada pun melakukan akad nikah tanpa persetubuhan tidak dilarang, karena tidak ada nash yang melarang.
2.. Kasus Kedua
Seorang wanita belum menikah, lalu berzina hingga hamil. Kemudian untuk menutupi rasa malunya, dia menikah dengan laki-laki yang menzinainya itu. Dalam hal ini para ulama sepakat membolehkannya. Karena memang tidak ada larangan atau pelanggaran yang dikhawatirkan. Setidaknya, Al-Imam Asy-syafi’i dan Abu Hanifah membolehkannya. Bahkan mereka dibolehkan melakukan hubungan seksual selama masa kehamilan, asalkan sudah terjadi pernikahan yang syar’i antara mereka.
Karena illat (titik point) larangan hal itu adalah tercampurnya mani atau janin dari seseorang dengan mani orang lain dalam satu rahim yang sama. Ketika kemungkinan itu tidak ada, karena yang menikahi adalah laki-laki yang sama, meski dalam bentuk zina, maka larangan itu pun menjadi tidak berlaku.
Seringkali ada orang yang tetap mengharamkan bentuk keempat ini, mungkin karena agak rancu dalam memahami keadaan serta titik pangkal keharamannya.
Pendeknya, kalau wanita hamil menikah dengan laki-laki yang menzinainya, maka tidak ada dalil atau illat yang melarangnya. Sehingga hukumnya boleh dan sesungguhnya tidak perlu lagi untuk menikah ulang setelah melahirkan. Karena pernikahan antara mereka sudah sah di sisi Allah SWT.
Bahkan selama masa kehamilan itu, mereka tetap diperbolehkan untuk melakukan hubungan suami isteri. Jadi mengapa harus diulang?
untuk contoh nya mungkin ini bisa jadi acuan
Itsar Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu anhu:
Berkata Ibnu Umar: Ketika Abu Bakar sedang berada di masjid tiba-tiba datang seorang laki-laki, lalu Abu Bakar berkata kepada Umar, “Berdirilah dan perhatikan urusannya karena sesungguhnya dia ada urusan penting.” lalu umar berdiri menghampirinya,lalu laki-laki itu mengatakan: “Sesungguhnya aku kedatangan seorang tamu lalu dia berzina dengan anak perempuanku?” Umar memukul dada orang tersebut dan berkata, “semoga Allah memburukkanmu! Tidakkah engkau tutup saja (rahasia zina) atas anak perempuanmu!” lalu Abu Bakar memrintahkan agar dilaksanakan hukum had (dera 100 x) terhadap keduanya. Kemudian beliau menikahkan keduanya, lalu beliau memerintahkan agar keduanya diasingkan selama setahun. (riwayat. Ibnu Hazm, Muhalla j 9 h.476; Baihaqi, Sunanul Kubro j.8 h.223)
Baihaqi meriwayatkan dari jalan lain, bahwa wanita itu dinikahkan dalam keadaan hamil.[/spoiler]
SUMBER http://apaantuh.com/2014/10/11/hukum...h-dalam-islam/
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tulis Komentar teman - teman di sini...!!!